
Dana Bansos yang seharusnya dipergunakan untuk memberikan bantuan langsung dan meringankan beban keluarga yang berjuang di garis kemiskinan malah di Korupsi. Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut skandal korupsi yang diduga melibatkan sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI. Komisi XI DPR RI diduga menerima aliran dana (CSR) corporate social responsibility yang menyamar sebagai bantuan sosial (bansos) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama periode 2020-2023.
Pengakuan Tersangka

Kasus ini terbongkar setelah pengakuan dari Tersangka Satori, Satori merupakan salah satu Komisi XI DPR RI yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Kamis (7/8/2025).
Satori mengatakan jika bukan hanya dirinya yang menerima dana tersebut. Ia mengatakan hampir seluruh rekannya di Komisi XI DPR RI juga ikut menikmati aliran dana bansos itu.
“KPK akan mendalami keterangan ST (Satori) tersebut,” tegas Pelaksana Tugas Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Jakarta. KPK kini tengah menindaklanjuti pengakuan mantan Anggota Komisi XI DPR Fraksi NasDem Satori yang baru saja diumumkan sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait penyaluran dana PSBI dan Penyuluh Jasa Keuangan (PJK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tahun 2020-2023.
Aliran Dana Bansos Miliaran Rupiah
KPK menduga Satori sendiri telah menerima total dana sebesar Rp12,52 miliar. Dana tersebut berasal dari tiga sumber utama:
Dilansir dari CNN Indonesia Satori diduga menerima total Rp12,52 miliar. Meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta Rp1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lain.
Dipakai untuk Aset Pribadi dan Dicuci
Uang haram dari korupsi Dana Bansos tersebut diduga tidak dinikmati begitu saja. Satori dituduh melakukan pencucian uang dengan membelanjakannya untuk berbagai keperluan pribadi, seperti:
- Penempatan deposito di bank.
- Pembelian tanah.
- Pembangunan showroom.
- Pembelian kendaraan.
KPK menduga bahwa mantan anggota Komisi XI DPR RI, Satori merekayasa bukti transaksi untuk menyamarkan jejak kejahatannya. Akibat perbuatannya ini, kader politikus Partai Nasdem ini dijerat pasal berlapis, mulai dari tindak pidana korupsi Dana Bansos hingga pencucian uang. Selain Satori, KPK juga menetapkan anggota DPR lain dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan, sebagai tersangka dalam kasus ini.
Sikap Komisi XI
Menanggapi penetapan dua anggotanya sebagai tersangka, Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyatakan pihaknya menghormati proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK.
Dana bansos bukanlah sekadar angka dalam anggaran negara. Ia adalah jaring pengaman bagi mereka yang paling rentan, napas bagi usaha mikro yang terengah-engah, dan harapan bagi keluarga yang berjuang di garis kemiskinan. Ketika dana yang seharusnya menjadi penyelamat ini justru diselewengkan, terlebih oleh para wakil rakyat yang semestinya menjadi penjaga amanah, maka yang terjadi bukanlah sekadar kerugian finansial, melainkan sebuah pengkhianatan yang melukai sendi-sendi kepercayaan bangsa.
Kabar yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai dugaan korupsi Dana Bansos dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyasar hampir seluruh anggota Komisi XI DPR periode 2020-2023 adalah sebuah lonceng bahaya. Kasus yang terkuak dari pengakuan tersangka ini, membuka kotak pandora yang memperlihatkan betapa rusaknya integritas di salah satu lembaga paling terhormat di negeri ini. Dampaknya bagi masyarakat jauh lebih dalam dan merusak daripada sekadar nominal miliaran rupiah yang hilang. Ini adalah krisis kepercayaan, erosi keadilan sosial, dan pembusukan institusional yang mengancam fondasi negara.
Runtuhnya Kepercayaan Masyarakat
Dampak yang paling fundamental dari skandal ini adalah hancurnya kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR, terutama Komisi XI yang membidangi keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan nasional, adalah garda terdepan pengawasan publik terhadap lembaga-lembaga finansial negara. Mereka adalah wakil yang dipilih rakyat untuk memastikan uang negara dan kebijakan ekonomi berpihak pada kepentingan rakyat.

Ketika para pengawas ini justru menjadi pelaku utama penyelewengan, logika demokrasi menjadi terbalik. Fungsi pengawasan berubah menjadi alat pemerasan terselubung, dan Dana Bansos yang seharusnya untuk publik menjadi “upeti” bagi para legislator. Bagi masyarakat awam, pesannya sangat jelas dan menyakitkan: “Orang yang kami pilih untuk melindungi kami, justru merampok kami.”
Kehancuran kepercayaan ini memicu dampak psikologis yang berbahaya di tengah masyarakat. Muncul sikap sinisme massal terhadap politik dan politisi. Warga menjadi apatis, merasa bahwa pemilu tidak lagi relevan karena siapa pun yang terpilih pada akhirnya akan melakukan hal yang sama. Pertanyaan seperti, “Untuk apa memilih jika akhirnya mereka korupsi juga?” menjadi pembenaran untuk tidak berpartisipasi dalam proses demokrasi. Tingkat golput yang tinggi dalam pemilu seringkali bukan cerminan dari ketidaktahuan, melainkan dari kekecewaan yang mendalam. Skandal seperti ini adalah bahan bakar utama bagi api apatisme tersebut, mendelegitimasi DPR sebagai lembaga perwakilan yang sah di mata rakyatnya sendiri.
Korban Nyata: Mereka yang Terlupakan dan Hak yang Terampas
Di balik angka-angka fantastis seperti Rp12,52 miliar yang diduga diterima oleh satu tersangka, ada wajah-wajah korban yang sesungguhnya: masyarakat miskin dan kelompok rentan yang seharusnya menjadi penerima manfaat dana tersebut. Uang ini bukanlah angka abstrak; ia adalah nilai konkrit dari kesempatan yang hilang dan hak yang dirampas. Bagaimana Menurutmu?

