
Kasus 569 pelajar alami keracunan usai santap MBG (Makan Bergizi Gratis) di Garut kembali menjadi perhatian publik. Data terbaru dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Garut mencatat jumlah korban terus bertambah hingga mencapai ratusan siswa dari berbagai sekolah.
Kepala Dinkes Garut, dr. Leli Yuliani, mengungkapkan bahwa laporan baru masih terus masuk dari sejumlah sekolah di daerah tersebut. “Hingga saat ini, sudah ada 569 orang dengan gejala keracunan. Sebagian besar kasusnya memang ringan,” jelas Leli, Jumat (19/9/2025).
Laporan terbaru bahkan datang dari salah satu sekolah dasar di Kecamatan Kadungora. Hal ini menunjukkan penyebaran kasus tidak hanya menimpa jenjang pendidikan tertentu, melainkan lintas sekolah.
Sebaran Korban dan Kondisi Pasien
Dari total 569 pelajar yang diduga keracunan MBG, para siswa berasal dari empat sekolah berbeda. Mereka terdiri dari siswa SMP, SMA yang bernaung di bawah satu yayasan, ditambah siswa SD serta Madrasah Aliyah.
Dilansir dari tribunnews.com, Mayoritas korban mengalami gejala ringan seperti mual, pusing, dan sakit perut. Mereka cukup menjalani perawatan di rumah. Namun, tercatat ada sekitar 30 pelajar yang harus dirawat di Puskesmas setempat. Dari jumlah tersebut, 11 siswa sudah diperbolehkan pulang, sementara 19 lainnya masih dalam pengawasan tenaga medis.
DPR Desak Perbaikan SOP MBG
Meningkatnya kasus keracunan akibat santap MBG tak hanya menimbulkan keresahan orang tua, tetapi juga menjadi sorotan wakil rakyat. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, Charles Honoris, menilai penyebab utama persoalan ini bisa jadi berasal dari lemahnya pelaksanaan standard operating procedure (SOP) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
“Kami meminta agar Badan Gizi Nasional (BGN) segera memperbaiki SOP serta memastikan implementasinya berjalan ketat di lapangan,” tegas Charles.
Menurut laporan yang ia terima, masih banyak SPPG yang tidak mematuhi prosedur dasar kebersihan. Bahkan, ditemukan fasilitas penyiapan makanan yang tidak higienis, seperti dapur yang minim alat pencegah serangga hingga praktik penyajian makanan langsung di lantai.
Risiko Kontaminasi Makanan MBG
Charles juga menyoroti teknis distribusi MBG yang berpotensi meningkatkan risiko kontaminasi. Proses penyiapan makanan dilakukan sejak malam hari sekitar pukul 23.00, dimasak pukul 04.00 dini hari, dibungkus pukul 07.00, lalu baru disantap oleh siswa sekitar pukul 11.00 hingga 12.00 siang.
“Rentang waktu yang terlalu panjang itu membuka peluang makanan terkontaminasi bakteri. Kondisi ini berbahaya bila terus dibiarkan,” jelas Charles.
Alternatif Solusi: Libatkan Kantin Sekolah atau Orang Tua
Untuk mengurangi risiko kejadian serupa, Charles mengusulkan agar pola distribusi MBG diubah. Salah satunya dengan melibatkan kantin atau dapur sekolah agar makanan bisa langsung disajikan tanpa menunggu terlalu lama.
Selain itu, ia juga mendorong opsi pemberian dana langsung kepada orang tua siswa. Dengan demikian, orang tua bisa menyiapkan menu sehat sesuai kebutuhan anak masing-masing. “Memberikan uang langsung bisa jadi alternatif agar kualitas dan higienitas makanan lebih terjamin,” ujarnya.
Peran BPOM dalam Pengawasan
Senada dengan Charles, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi NasDem, Irma Suryani Chaniago, menekankan pentingnya keterlibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam pengawasan program MBG.
Ia menilai pengawasan bersama antara BGN dan BPOM harus segera diimplementasikan mengingat kasus keracunan tidak hanya terjadi di Garut, melainkan juga di beberapa daerah lain.
Menurut Irma, anggaran besar yang digelontorkan pemerintah untuk program MBG harus digunakan dengan penuh kehati-hatian agar tujuan Presiden Prabowo Subianto dalam meningkatkan gizi dan kecerdasan anak bangsa benar-benar tercapai.
Pentingnya Evaluasi Menyeluruh
Kasus 569 pelajar alami keracunan usai santap MBG di Garut menjadi pelajaran berharga bahwa program makan bergizi gratis tidak cukup hanya dilihat dari sisi kuantitas, tetapi juga kualitas dan keamanan pangan. Tanpa pengawasan yang ketat, program yang mulia ini justru berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak.
Diperlukan evaluasi menyeluruh, mulai dari SOP penyediaan makanan, sistem distribusi, hingga opsi alternatif penyelenggaraan agar insiden serupa tidak lagi terjadi di masa depan.

