
Remisi 17 Agustus: Tradisi atau Kontroversi?
Setiap peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM biasanya memberikan remisi atau pengurangan masa tahanan bagi narapidana. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan kepada warga binaan yang berkelakuan baik serta aktif mengikuti pembinaan.
Namun, peringatan HUT RI ke-80 tahun 2025 memunculkan perdebatan. Pasalnya, sejumlah nama kontroversial turut masuk dalam daftar penerima. Salah satunya adalah Mario Dandy Satriyo, pelaku penganiayaan terhadap David Ozora, serta Gregorius Ronald Tannur, terpidana kasus kematian Dini Sera Afrianti. Publik pun ramai memperbincangkan apakah pemberian remisi ini benar-benar sesuai prinsip keadilan atau sekadar “hadiah kemerdekaan” yang melukai rasa keadilan masyarakat.
Mario Dandy & Ronald Tannur Terima Remisi 17 Agustus

Nama Mario Dandy Satriyo menjadi sorotan publik sejak kasus penganiayaan brutal terhadap David Ozora pada 2023. Video penyiksaan yang beredar luas di media sosial membuat publik marah dan menuntut hukuman berat.
Di Lapas Sukamiskin, Mario kini berstatus narapidana. Pada peringatan 17 Agustus 2025, ia mendapatkan dua jenis remisi, yakni:
- Remisi Umum: 3 bulan
- Remisi Dasawarsa: 90 hari
Kepala Lapas Sukamiskin, Fajar Nur Cahyo, menegaskan bahwa remisi tersebut diberikan karena Mario memenuhi syarat administratif dan substantif, termasuk berkelakuan baik dan aktif mengikuti pembinaan.
Meski demikian, banyak pihak mempertanyakan keputusan ini. Publik masih mengingat luka mendalam yang ditinggalkan kasus David Ozora, sehingga pemberian remisi kepada Mario dianggap terlalu cepat dan menyinggung rasa keadilan korban.
Jejak Ronald Tannur: Dari Vonis Bebas hingga Masuk Penjara Lagi

Kasus Gregorius Ronald Tannur tak kalah menuai perhatian. Putra anggota DPR itu sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti.
Dirangkum detikcom, Senin (18/8/2025), Ronald Tannur sempat membuat geger publik karena divonis bebas di pengadilan tingkat pertama, yakni di Pengadilan Negeri Surabaya. Namun, belakangan diketahui, vonis bebas itu diberikan kepada Ronald karena tiga majelis hakim yang mengadili Ronald Tannur itu menerima suap.
Mahkamah Agung pada 22 Oktober 2024 akhirnya menganulir putusan bebas itu dan menjatuhkan vonis 5 tahun penjara. Tidak lama berselang, Ronald ditangkap dan dijebloskan ke Lapas Salemba Jakarta.
Hanya berselang kurang dari setahun mendekam di penjara, Ronald kini termasuk dalam 1.555 narapidana yang menerima remisi HUT RI ke-80. Ia mendapat pengurangan masa tahanan selama 1 bulan.
Banyak pihak menilai pemberian remisi pada Ronald memperlihatkan ketidaksensitifan terhadap korban dan keluarganya. Sebab, kasus ini masih membekas kuat dalam ingatan masyarakat.
Nama-Nama Lain yang Mendapat Remisi
Selain Mario Dandy dan Ronald Tannur, beberapa nama lain yang sempat menjadi sorotan publik juga tercatat menerima pengurangan hukuman, di antaranya:
- John Refra alias John Kei – Terpidana kasus pembunuhan berencana (4 bulan)
- Ahmad Fathanah – Kasus suap impor daging sapi (5 bulan)
- Edward Seky Soeryadjaya – Korupsi PT Asabri (5 bulan)
- Windu Aji Sutanto – Korupsi pertambangan nikel (3 bulan)
- Ervan Fajar Mandala – Korupsi Askrindo (5 bulan)
Kementerian Hukum dan HAM menyatakan, secara nasional terdapat 179.312 narapidana yang menerima remisi umum, dengan 3.917 orang langsung bebas. Sementara itu, untuk remisi dasawarsa jumlahnya mencapai hampir 193 ribu orang.
Mengapa Remisi Sering Menuai Polemik?
Secara prinsip, remisi bertujuan positif:
- Motivasi Perubahan – Mendorong narapidana berperilaku baik.
- Penghargaan – Bentuk apresiasi terhadap keberhasilan mengikuti pembinaan.
- Efisiensi Lapas – Mengurangi kepadatan penghuni lembaga pemasyarakatan.
Namun, ketika yang menerima remisi adalah sosok dengan kasus besar yang melukai rasa keadilan publik, muncul resistensi sosial. Bagi banyak orang, pemberian remisi pada narapidana seperti Mario Dandy atau Ronald Tannur terasa seperti melupakan penderitaan korban.
Suara Publik: Antara Keadilan dan Kebijakan
Reaksi masyarakat di media sosial memperlihatkan dua kubu. Sebagian menganggap remisi adalah hak setiap narapidana yang memenuhi syarat, tanpa terkecuali. Namun, sebagian besar menilai remisi seharusnya mempertimbangkan dampak sosial dan rasa keadilan, terutama untuk kasus yang mendapat sorotan publik.
Sejumlah pakar hukum juga menekankan pentingnya transparansi dalam menentukan siapa saja yang layak menerima remisi. Tanpa transparansi, kebijakan ini akan selalu dipandang sinis sebagai bentuk “hadiah kemerdekaan” yang tidak tepat sasaran.
Penutup: Hadiah Kemerdekaan yang Dipertanyakan
Kasus Hadiah Kemerdekaan? Mario Dandy & Ronald Tannur Terima Remisi 17 Agustus sekali lagi menyoroti dilema antara kebijakan hukum dan sensitivitas sosial.
Di satu sisi, remisi adalah hak narapidana yang memenuhi syarat. Namun, di sisi lain, penerapannya pada figur-figur kontroversial justru memunculkan luka baru bagi korban dan keluarga.
Pertanyaan yang menggantung di benak publik: Apakah benar remisi ini wujud pembinaan dan penghargaan? Ataukah sekadar formalitas tahunan yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat?

