.webp)
Mahasiswa desak Gerindra copot Ajie Karim setelah beredarnya video yang menampilkan anggota DPRD Sumut tersebut sedang asyik dugem bersama seorang wanita. Aksi protes itu digelar oleh dua kelompok mahasiswa di depan kantor DPD Gerindra Sumatera Utara, Jalan Sudirman, Medan, pada Rabu (10/9/2025).
Video yang viral sejak akhir Agustus itu memperlihatkan Ajie Karim berjoget sambil meminum minuman beralkohol di sebuah klub malam. Momen tersebut dinilai sangat tidak pantas, mengingat statusnya sebagai wakil rakyat dari Fraksi Gerindra.
Tuntutan Mahasiswa desak Gerindra copot Ajie Karim
Dilansir dari tribunnews.com, Koordinator aksi, Bagus Permadi, menegaskan bahwa perbuatan Ajie Karim mencederai kepercayaan publik. Menurutnya, tindakan tersebut tidak hanya melanggar norma sosial, tetapi juga aturan undang-undang dan kode etik partai.
Bagus menyampaikan empat tuntutan utama mahasiswa kepada DPD Gerindra Sumut:
- Mengeluarkan surat rekomendasi pemberhentian Ajie Karim dari jabatan anggota DPRD Sumut.
- Mengajukan Pergantian Antar Waktu (PAW) kepada DPP Gerindra untuk menggantikan posisi Ajie Karim.
- Mencopot status keanggotaan partai Ajie Karim sebagai kader Gerindra.
- Menyampaikan proses dan keputusan secara transparan kepada masyarakat luas.
Menurut Bagus, langkah ini penting untuk menjaga marwah partai dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Dugaan Pelanggaran UU dan Kode Etik Partai

Mahasiswa desak Gerindra copot Ajie Karim mereka menilai, tindakan Ajie Karim melanggar sejumlah aturan hukum dan kode etik, antara lain:
- UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3), khususnya Pasal 373, yang mewajibkan anggota dewan menjaga martabat dan nama baik lembaga.
- UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, yang menuntut kader partai menjunjung tinggi etika politik.
- AD/ART Partai Gerindra, yang mewajibkan setiap anggota menjaga citra partai dan menjadi teladan di masyarakat.
Dengan dugem di tempat hiburan malam, Ajie Karim dianggap telah mengabaikan kewajibannya sebagai pejabat publik sekaligus mencoreng nama baik partai yang menaunginya.
Reaksi Publik: Kekecewaan dan Kritikan
Viralnya video Ajie Karim memicu gelombang komentar di media sosial. Banyak warganet menyayangkan sikapnya yang dinilai tidak pantas dilakukan oleh seorang wakil rakyat.
- “Sebagai pejabat publik, seharusnya bisa menjaga sikap. Jangan malah memberi contoh buruk,” tulis salah satu netizen.
- Ada pula yang menilai bahwa tindakan Ajie Karim menambah daftar panjang krisis kepercayaan masyarakat terhadap politisi.
- Sebagian lainnya mendesak agar partai segera mengambil tindakan tegas agar kasus serupa tidak terulang.
Kekecewaan publik ini juga terlihat jelas dalam aksi mahasiswa di Medan. Mereka menilai bahwa peristiwa ini adalah momentum penting untuk menegakkan disiplin partai dan menuntut adanya reformasi moral dalam politik.
Respons Resmi Gerindra Sumut
Menanggapi desakan mahasiswa, Sekretaris DPD Gerindra Sumut, Sugiat Santoso, menyatakan pihaknya akan memanggil Ajie Karim untuk dimintai klarifikasi. Menurut Sugiat, partai masih membutuhkan waktu untuk melakukan pendalaman terhadap kasus tersebut.
“Kami akan melakukan pemeriksaan internal. Jika terbukti melanggar etika dan aturan, sanksi tegas pasti akan diberikan,” tegas Sugiat.
Pernyataan ini menandakan bahwa partai tidak akan tinggal diam, meskipun publik masih menunggu langkah nyata berupa pemberhentian atau sanksi resmi.
Mahasiswa Serukan Reformasi Moral Politik

Dalam orasinya, Bagus Permadi menegaskan bahwa kasus Ajie Karim harus dijadikan pelajaran berharga bagi seluruh partai politik. Menurutnya, moralitas politisi tidak boleh diabaikan hanya karena alasan popularitas atau kekuasaan.
“Kami mahasiswa menegaskan, laporan ini adalah refleksi agar kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif tidak dikhianati. Sudah saatnya ada reformasi moral politik di Indonesia,” ujarnya lantang.
Penutup: Menanti Tindakan Tegas Gerindra
Kasus ini menjadi ujian besar bagi Partai Gerindra, khususnya di Sumatera Utara. Tuntutan mahasiswa yang desak Gerindra copot Ajie Karim bukan sekadar kritik, melainkan cerminan keresahan publik terhadap perilaku politisi yang seharusnya menjadi teladan.
Jika Gerindra benar-benar ingin menjaga marwah partai, langkah tegas berupa pemecatan dan PAW perlu segera dilakukan. Sebaliknya, jika kasus ini dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap partai akan semakin merosot.
Kini publik menunggu, apakah Gerindra berani menindak kadernya sendiri demi menjaga kepercayaan rakyat, atau justru membiarkan kasus ini berlalu begitu saja.

