
Belakangan ini, isu tentang Muncul Usulan 1 Orang 1 Akun di Tiap Medsos kembali menjadi sorotan publik. Ide ini mencuat dari sejumlah anggota DPR yang menilai bahwa keberadaan akun ganda atau akun anonim di media sosial seringkali menjadi sumber masalah. Tujuannya, membatasi ruang gerak buzzer, bot, dan akun palsu yang dianggap kerap menyebarkan hoaks maupun fitnah.
Namun, meski niatnya dinilai baik, wacana ini menuai kritik dari akademisi, pegiat media, hingga masyarakat digital. Mereka berpendapat bahwa pembatasan jumlah akun bukanlah solusi utama untuk melawan hoaks, melainkan edukasi literasi digital yang lebih masif.
Kritik Akademisi: Edukasi Lebih Utama
Pakar komunikasi dari Universitas Airlangga, Titik Puji Rahayu, menilai kebijakan satu orang satu akun medsos justru bisa menimbulkan masalah baru. Menurutnya, anggapan bahwa dengan mengurangi jumlah akun otomatis akan mengurangi hoaks merupakan logika yang keliru.
“Satu akun bisa saja menyebarkan ratusan hoaks, bukan hanya satu. Jadi yang seharusnya menjadi fokus bukan jumlah akun, melainkan perilaku pengguna,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti bahwa penyebar hoaks terbesar bukanlah akun organik milik manusia, melainkan bot otomatis yang dibuat untuk menyerupai akun asli. Dengan demikian, kebijakan ini justru berpotensi menghukum pengguna nyata yang sah.
Wajar Jika Seseorang Punya Banyak Akun
Dilansir dari detik.com, Dalam praktiknya, memiliki lebih dari satu akun medsos adalah hal wajar. Seseorang bisa memiliki akun profesional untuk pekerjaan, akun pribadi untuk keluarga, dan akun lain untuk hobi atau komunitas.
Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan multi-akun tidak selalu identik dengan hal negatif. Justru, banyak orang memanfaatkan akun tambahan untuk mengekspresikan diri di ranah berbeda tanpa mencampuradukkan identitas utama mereka.
Usulan dari Parlemen
Sejumlah legislator mendukung wacana ini, salah satunya Bambang Haryadi dari Fraksi Gerindra. Ia mengusulkan agar setiap warga negara hanya boleh memiliki satu akun di tiap platform media sosial, seperti Instagram, TikTok, atau Facebook.
Alasannya:
- Mengurangi maraknya akun anonim.
- Meminimalisir penyalahgunaan akun untuk serangan buzzer.
- Menekan tindak penipuan online yang kerap melibatkan akun palsu.
Bambang menegaskan bahwa aturan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi, melainkan sebagai langkah untuk meningkatkan kualitas demokrasi digital di Indonesia.
Pandangan Pro: Identitas Lebih Jelas, Hoaks Bisa Ditekan
Pendukung kebijakan Muncul Usulan 1 Orang 1 Akun di Tiap Medsos berpendapat bahwa langkah ini akan membuat identitas pengguna lebih transparan. Dengan akun yang terhubung pada NIK dan nomor telepon, setiap orang harus bertanggung jawab atas apa yang mereka bagikan.
Beberapa manfaat yang diyakini bisa muncul antara lain:
- Mengurangi akun palsu dan anonim.
- Menekan aktivitas buzzer dan framing isu politik.
- Meminimalisir tindak kejahatan digital seperti penipuan belanja online.
- Meningkatkan akuntabilitas demokrasi digital.
Pandangan Kontra: Potensi Menghambat Kebebasan Digital
Meski terdengar ideal, banyak kalangan justru menilai kebijakan ini bisa membatasi kebebasan warga di ruang digital. Kritik yang muncul antara lain:
- Mengorbankan pengguna asli. Mereka yang punya alasan sah untuk memiliki lebih dari satu akun akan terdampak.
- Tidak menyentuh akar masalah. Hoaks justru lebih banyak disebarkan bot, bukan akun pribadi.
- Risiko penyalahgunaan data. Integrasi akun dengan identitas resmi bisa membuka peluang kebocoran data pribadi.
- Menghambat kreativitas. Banyak kreator konten yang mengelola lebih dari satu akun untuk strategi pemasaran.
Akademisi seperti Titik Puji Rahayu menekankan bahwa solusi utama bukanlah membatasi akun, melainkan literasi digital dan penguatan ekosistem media.
Pegiat Medsos: Anonimitas Perlu Dievaluasi
Pegiat media sosial, Narliswandi Iwan Piliang, menyatakan dukungannya terhadap pembatasan akun anonim. Menurutnya, tanpa regulasi, maraknya akun palsu dan bot akan terus mengganggu ruang komunikasi publik.
Ia menilai identitas yang jelas, seperti keterikatan dengan nomor telepon dan NIK, akan mengembalikan “roh komunikasi publik” yang sehat: berbasis akal, budi, dan nurani.
Solusi Alternatif: Edukasi dan Industri Digital
Daripada fokus pada pembatasan, Titik Puji Rahayu menilai pemerintah sebaiknya memperkuat edukasi literasi digital agar masyarakat lebih kritis dalam menerima informasi. Dengan pemahaman yang baik, publik tidak mudah terpengaruh hoaks.
Selain itu, ia mendorong pemerintah mengembangkan industri digital nasional yang mampu membuka lapangan kerja baru. Hal ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tapi juga membangun ekosistem media yang lebih sehat.
Kesimpulan: Perlu Keseimbangan Antara Regulasi dan Edukasi
Wacana Muncul Usulan 1 Orang 1 Akun di Tiap Medsos memang lahir dari niat baik untuk menekan hoaks dan buzzer. Namun, jika tidak hati-hati, kebijakan ini justru bisa membatasi kebebasan berekspresi dan merugikan pengguna sah.
Solusi yang lebih bijak adalah kombinasi antara:
- Regulasi ketat terhadap akun bot dan anonim.
- Verifikasi identitas yang aman dan transparan.
- Peningkatan literasi digital masyarakat.
- Penguatan industri media digital lokal.
Dengan langkah seimbang ini, media sosial tetap bisa menjadi ruang demokrasi yang sehat tanpa mengorbankan hak warganya.

