
Kornet.co.id – Gelombang protes masyarakat kembali mengguncang dunia penyiaran nasional. Sebuah tayangan TV baru-baru ini memantik perdebatan hangat di berbagai platform media sosial. Tayangan tersebut dianggap menyinggung sosok ulama sepuh dari salah satu pesantren ternama di Jawa Timur. Tak butuh waktu lama, ribuan komentar bernada kecewa dan kemarahan membanjiri kolom unggahan resmi stasiun TV tersebut.
Kritik datang dari berbagai kalangan — mulai dari santri, akademisi, hingga tokoh masyarakat. Mereka menilai, lembaga penyiaran seharusnya memiliki tanggung jawab moral dalam menjaga sensitivitas budaya dan keagamaan di tengah masyarakat Indonesia yang plural. Tayangan yang dimaksud dinilai telah melampaui batas etika, memunculkan luka di hati umat, serta mengaburkan batas antara satire dan penghinaan.
Media dan Tanggung Jawab Moral
Dalam konteks industri penyiaran modern, kebebasan berekspresi memang menjadi bagian penting dari ekosistem media. Namun, kebebasan tersebut tidak berarti tanpa batas. Setiap lembaga TV wajib mengedepankan prinsip kehati-hatian. Terlebih lagi, ketika konten yang ditayangkan bersinggungan dengan nilai-nilai keagamaan, sosial, dan budaya masyarakat.
Publik menuntut agar pihak TV terkait segera memberikan klarifikasi dan permintaan maaf terbuka. Mereka menilai tindakan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab, bukan sekadar formalitas. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, publik memiliki akses luas untuk menilai, mengkritik, bahkan memboikot produk media yang dianggap tidak etis.
Fenomena Tagar dan Gelombang Digital
Fenomena tagar atau “hashtag activism” menjadi kekuatan baru di ruang publik digital. Setelah tayangan itu disiarkan, tagar #BoikotTrans7 dan sejenisnya langsung menduduki posisi teratas di platform seperti X (Twitter) dan Instagram. Ribuan santri dari berbagai pesantren turut serta dalam gerakan tersebut, menandakan bahwa protes ini bukan sekadar reaksi spontan, tetapi manifestasi dari kekecewaan kolektif yang mendalam.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kekuatan publik di dunia digital kini dapat memengaruhi reputasi dan kredibilitas lembaga penyiaran. Ketika masyarakat merasa nilai-nilai yang mereka junjung tinggi dilecehkan, mereka tidak segan menggunakan media sosial sebagai alat tekanan. Di sisi lain, ini menjadi peringatan bagi dunia TV agar lebih berhati-hati dalam menentukan materi tayangan yang berpotensi menyinggung kelompok tertentu.
Menimbang Etika Penyiaran di Era Modern
Dilansir dari Inilah.com Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama ini telah menetapkan pedoman dan standar program siaran yang harus dipatuhi oleh semua stasiun TV. Pedoman tersebut mencakup aspek moralitas, kesopanan, serta larangan terhadap penistaan agama. Namun, pelanggaran tetap kerap terjadi — baik karena kelalaian, ambiguitas konten, atau kurangnya kontrol internal di ruang redaksi.
Pakar komunikasi publik menilai bahwa insiden semacam ini seharusnya dijadikan momentum untuk memperkuat mekanisme editorial. Tayangan TV tidak cukup hanya menarik perhatian penonton, tetapi juga harus mendidik dan mencerminkan nilai luhur bangsa. Masyarakat modern kini menuntut media yang cerdas, sensitif, dan bertanggung jawab.
Klarifikasi yang Dinanti
Hingga kini, publik masih menanti pernyataan resmi dari pihak stasiun TV yang bersangkutan. Sejumlah tokoh menilai, permintaan maaf terbuka dapat meredakan ketegangan dan memulihkan kepercayaan publik. Namun jika tidak ditangani dengan tepat, kontroversi ini bisa berujung pada penurunan citra dan bahkan potensi sanksi dari regulator penyiaran.
Bagi sebagian kalangan, insiden ini menjadi pelajaran penting tentang betapa rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap media. Sekali saja lembaga penyiaran gagal menjaga etika, dampaknya bisa meluas dan mencederai reputasi yang dibangun selama bertahun-tahun.
Membangun Ulang Kepercayaan
Membangun kembali kepercayaan publik bukan perkara mudah. Diperlukan langkah nyata, seperti evaluasi konten, pelatihan ulang bagi tim redaksi, dan pembentukan dewan etik internal yang mampu mengawasi setiap tayangan sebelum mengudara. Dunia TV harus kembali kepada prinsip utamanya: memberikan informasi dan hiburan yang berimbang, tanpa merendahkan pihak mana pun.
Penyiaran seharusnya menjadi jembatan, bukan jurang, antara keragaman nilai masyarakat Indonesia. Ketika media mampu menunjukkan empati dan rasa hormat terhadap semua lapisan masyarakat, kepercayaan itu akan tumbuh kembali secara alami.
Penutup
Kontroversi tayangan ini menjadi cermin dari dinamika antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial dalam dunia penyiaran. Masyarakat kini tidak lagi menjadi penonton pasif. Mereka kritis, vokal, dan menuntut akuntabilitas.
Setiap lembaga TV harus memahami bahwa kekuatan mereka tidak hanya terletak pada jumlah pemirsa, tetapi juga pada kepercayaan yang diberikan oleh publik. Dalam era keterbukaan digital, sekali kehilangan kepercayaan, maka sulit untuk mendapatkannya kembali.
Tayangan TV bukan sekadar hiburan — ia adalah cerminan nilai, etika, dan wajah bangsa di mata rakyatnya sendiri.

