
Kornet.co.id – Kabar dari Kabupaten Sukabumi kembali mengguncang publik. Dua warga asal Kecamatan Cikakak mendadak menjadi sorotan setelah ditetapkan sebagai tersangka karena menggali emas di lahan milik mereka sendiri. Ironisnya, aktivitas tersebut dilakukan tanpa izin resmi, sehingga dianggap sebagai pelanggaran hukum di bidang pertambangan.
Kedua warga tersebut kini harus menghadapi ancaman hukuman berat: lima tahun penjara dan denda hingga seratus miliar rupiah.
Di mata banyak orang, kisah ini terdengar janggal. Bagaimana mungkin seseorang bisa dipenjara karena menggali di tanah yang dimilikinya sendiri? Namun, realitas hukum di Indonesia menempatkan kegiatan pertambangan sebagai aktivitas yang sangat diatur ketat — bahkan bila dilakukan di lahan pribadi.
Awal Mula Kasus
Kasus ini bermula saat aparat kepolisian menerima laporan tentang aktivitas mencurigakan di area perbukitan Kecamatan Cikakak. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa dua warga tersebut melakukan penambangan tradisional secara manual, menggali lubang sedalam puluhan meter demi mencari butiran emas.
Mereka tidak menggunakan alat berat, melainkan peralatan sederhana seperti cangkul, palu, serta bor manual.
Namun, aparat menemukan fakta bahwa kegiatan tersebut dilakukan tanpa memiliki izin usaha pertambangan (IUP) atau izin pertambangan rakyat (IPR). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap aktivitas penggalian dan pengambilan sumber daya alam termasuk emas harus memiliki izin resmi dari pemerintah.
Penegakan Hukum dan Ancaman Pidana
Pihak kepolisian menegaskan bahwa meskipun lahan tersebut merupakan hak milik pribadi, status tanah tidak serta merta memberikan hak kepada pemilik untuk mengambil mineral di bawahnya. Sumber daya alam, termasuk emas, dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
Karena itu, aktivitas tambang tanpa izin tetap dikategorikan sebagai tindak pidana.
Kedua warga Cikakak itu dijerat dengan Pasal 158 UU Minerba yang mengatur pidana penambangan tanpa izin, dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar.
Barang bukti berupa batuan mengandung emas, alat bor, serta peralatan penggalian telah disita oleh aparat. Kini, kasus tersebut masih dalam tahap penyidikan lanjutan untuk menentukan sejauh mana aktivitas penambangan dilakukan dan apakah ada pihak lain yang terlibat.
Realitas Tambang Tradisional di Pedesaan
Peristiwa di Cikakak mencerminkan dilema sosial yang sering terjadi di wilayah pedesaan. Banyak warga menggantungkan harapan pada tambang tradisional sebagai sumber penghidupan tambahan, tanpa memahami bahwa aktivitas tersebut masuk dalam ranah hukum yang ketat.
Ketiadaan izin bukan karena niat melanggar, melainkan minimnya pengetahuan dan rumitnya proses perizinan.
Untuk mendapatkan izin pertambangan rakyat, warga harus memenuhi berbagai persyaratan administratif dan teknis. Proses ini sering kali memakan waktu lama dan biaya besar. Akibatnya, sebagian masyarakat memilih melakukan penambangan kecil-kecilan secara diam-diam.
Sayangnya, tanpa izin resmi, aktivitas tersebut bisa langsung digolongkan sebagai tindak pidana. Inilah yang kini menjerat dua warga Cikakak, yang awalnya hanya ingin mencari tambahan penghasilan.
Tanggapan Publik dan Dampak Sosial
Kasus ini memicu perdebatan di masyarakat. Sebagian pihak menilai penegakan hukum sudah tepat karena tambang ilegal dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan berpotensi membahayakan keselamatan warga. Namun, tak sedikit pula yang merasa bahwa hukuman pidana terlalu berat jika diterapkan pada warga kecil yang menggali di tanah miliknya sendiri.
Bagi sebagian warga Cikakak, tindakan aparat terasa berlebihan. Mereka menilai pemerintah seharusnya memberikan pembinaan, bukan sekadar penindakan. “Kalau dibilang ilegal, kami tidak tahu harus urus ke mana. Kami hanya ingin cari rezeki,” ujar seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya.
Antara Hukum dan Keadilan Sosial
Kasus ini membuka kembali perdebatan klasik antara hukum positif dan rasa keadilan di masyarakat. Secara hukum, tindakan dua warga Cikakak memang menyalahi aturan. Namun secara moral, banyak yang beranggapan mereka hanyalah korban dari sistem perizinan yang terlalu rumit.
Hukum harus ditegakkan, tetapi keadilan sosial juga harus dijaga.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan jalan tengah melalui program legalisasi tambang rakyat. Dengan begitu, masyarakat dapat tetap bekerja tanpa takut melanggar hukum, sementara negara tetap dapat mengawasi dan mengatur aktivitas pertambangan agar tidak merusak lingkungan.
Penutup
Kasus dua warga Cikakak yang terancam hukuman berat karena menggali emas di tanah sendiri menjadi cermin dari kompleksitas hukum sumber daya alam di Indonesia.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kepemilikan tanah tidak selalu berarti memiliki hak atas kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Meski demikian, penegakan hukum seharusnya disertai pendekatan humanis dan edukatif. Sebab, bukan hanya tambang yang ingin digali oleh rakyat, melainkan juga harapan untuk hidup lebih layak di tanah kelahirannya sendiri.
Dari perbukitan sunyi di Sukabumi, kisah ini bergema: antara hukum yang kaku dan kenyataan hidup yang keras, rakyat kecil kembali menjadi pihak yang harus menanggung akibat paling besar.

