
Kornet.co.id – Pernyataan Roy Suryo kembali menyorot perhatian publik. Setelah sekian lama tidak berada di Indonesia karena perjalanan ke Australia, ia kembali dengan klaim bahwa ia membawa data, dokumen, dan temuan baru yang menurutnya relevan untuk memperjelas diskursus lama mengenai ijazah Gibran Rakabuming Raka.
Isu ijazah ini sudah lama menjadi bola panas. Namun setiap kali muncul, konteksnya selalu sensitif. Karena menyangkut nama yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Maka setiap narasi, setiap data, dan setiap klaim, perlu ditempatkan dalam koridor proporsional, objektif, dan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah.
Yang pasti, publik kembali terbelah. Sebagian merasa bahwa isu ini perlu ditutup rapat dan tidak terus diungkit. Sebagian lain merasa bahwa transparansi dan audit administratif juga adalah bagian dari demokrasi.
Apa yang Diungkapkan Roy Suryo?
Roy Suryo menyebut bahwa ia menemukan data pembanding, mempelajari kurikulum universitas terkait, melihat timeline studi, dan mengobservasi beberapa parameter akademik khusus yang menurutnya penting untuk dilihat secara faktual.
Pernyataannya Roy Suryo bersifat “challenge” untuk verifikasi. Ia tidak menyatakan 100% kesimpulan. Tapi ia menyatakan bahwa ada “hal menarik” yang ia nilai perlu dijawab, bukan dihindari.
Bahwa sebagai figur publik, seorang pejabat negara, pasti harus siap pada pemeriksaan data personal yang sifatnya administratif, terutama terkait dokumen pendidikan.
Yang disorot oleh Roy Suryo bukan semata “legalitas” — tapi lebih pada konsistensi antara dokumentasi formal dengan database akademik dan struktur kurikulum.
Dalam dunia akademik, sinkronisasi data adalah hal wajar. Karena itu, klaim ini perlu dilihat bukan sebagai “vonis”, melainkan sebagai “pertanyaan publik”.
Kenapa Publik Sensitif?
Karena Indonesia punya sejarah panjang, tentang isu ijazah yang dipakai sebagai alat politisasi. Puluhan nama pernah dibawa ke ruang publik, hanya karena dokumen akademik. Bahkan ada yang kemudian terbukti tidak benar tuduhannya.
Maka kehati-hatian selalu penting.
Dalam konteks ini, Roy Suryo adalah orang yang dikenal publik sebagai figur teknis — terutama di bidang telematika dan analisis digital. Publik menunggu apakah data yang ia bawa:
- bersifat teknis,
- bersifat forensik,
- atau hanya opini subjektif akademis.
Karena bentuk data menentukan konsekuensi sosial.
Kalau data itu hanya hipotesis — publik akan menilai itu hanya isu politik.
Kalau data itu bisa diverifikasi — publik berhak mendapatkan jawaban resmi.
Sikap yang Ideal dari Negara
Dilansir dari Kompas.com Jika ingin menunjukkan kultur administrasi modern — respons terbaik selalu berbasis data resmi institusi. Universitas tempat Gibran menempuh pendidikan, misalnya, adalah lembaga yang sah, dan secara hukum memegang seluruh data akademik alumninya.
Tiga hal bisa dilakukan negara agar isu ini tidak menjadi kabut panjang:
- Membuka data resmi secara legal melalui mekanisme aturan informasi publik.
- Menyiapkan tim penjelas administratif agar masyarakat tidak menafsirkan liar.
- Menegaskan ruang pembuktian formal agar perdebatan tidak hanya jadi konten viral.
Dengan tiga langkah itu, isu ini selesai secara sistemik. Bukan emosional.
Efek Sosial Isu Ini
Di era digital, isu pendidikan pejabat sering dijadikan barometer kepercayaan publik. Karena pendidikan identik dengan:
- kapasitas berpikir,
- kemampuan memimpin,
- kualitas pengambilan keputusan.
Maka, transparansi dokumen akademik pejabat itu bukan sekadar formalitas. Ia adalah bagian dari membangun trust jangka panjang.
Isu ini juga menguji kedewasaan bangsa. Apakah kita masih menyeret semua isu ke dalam arena politik saling jagal? Atau kita mulai bisa mendekati isu secara objektif dan berbasis data?
Penutup
Pernyataan Roy Suryo adalah “spark” baru dalam diskursus panjang. Ia menyampaikan bahwa ia memiliki data pemetaan baru pascal perjalanan ke Australia. Itu memantik pertanyaan. Patut diuji. Patut diverifikasi. Namun tidak otomatis harus disimpulkan sebagai tuduhan.
Di sisi lain, ini juga menjadi kesempatan bagi negara untuk menunjukkan standar administrasi baru: profesional, terbuka, dan responsif.
Karena di era modern, reputasi pemimpin bukan hanya diwariskan lewat pidato dan proyek, tetapi juga lewat transparansi dokumen, keterbukaan informasi, dan itikad menjawab pertanyaan publik dengan kepala dingin.
Dan pada titik itu, diskursus seperti ini perlu dipandang bukan sebagai konflik, melainkan sebagai proses pendewasaan demokrasi. Maksudnya bukan mencari siapa salah dan siapa benar, tapi memberi keyakinan kepada rakyat bahwa setiap lapisan sistem negara bergerak dalam cahaya — bukan dalam bayang-bayang.

