
Kornet.co.id – Fenomena kriminalitas perkotaan semakin hari semakin canggih. Namun ada pula pola kejahatan yang justru memanfaatkan nalar publik, dibuat sederhana, dibuat seolah spontan, namun bertujuan memancing keuntungan instan. Viral rekaman jalanan dari Tanah Abang, Jakarta Pusat, kembali membuka diskursus tentang modus yang meresahkan: Pura-Pura Ditabrak kendaraan di jalanan.
Video itu memperlihatkan seorang pria paruh baya yang datang dari arah berlawanan, kemudian tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya ke badan mobil yang sedang melaju pelan. Terlihat seperti sekuens dramatis film kelas bawah. Tidak ada benturan keras, tidak ada momentum besar. Namun gestur tubuh sengaja diarahkan, seolah menunjukan skenario “tertabrak” yang ingin ditampilkan.
Yang menarik, lingkungan jalanan di sekitar tidak bereaksi.
Tidak ada kerumunan. Tidak ada panik. Tidak ada teriakan “tanggung jawab!”. Justru ada suara pengendara lain (diduga driver ojol) yang memberi peringatan agar pengemudi tidak memedulikan aksi tersebut. Narasi ini menghadirkan atmosfer kontras: pelakon mencoba memicu drama, tetapi audiens jalanan sudah terlalu sering melihat adegan serupa dan sudah mengerti polanya. Dan pada akhirnya, aksi itu berujung dicuekin total.
Modus yang Tidak Baru, Tapi Masih Dipakai
Modus Pura-Pura Ditabrak bukan barang baru. Di berbagai kota besar lain, baik di Indonesia maupun di luar negeri, pola ini sudah pernah didokumentasikan. Pada kasus tertentu, ini dilakukan oleh individu yang ingin mencari uang ganti rugi. Ada pula yang mencoba memancing keributan lalu “menawarkan damai di tempat”. Namun pada sebagian rekaman yang beredar, banyak pengendara sudah semakin paham skenarionya.
Fenomena ini hadir bukan hanya sebagai gangguan sosial, melainkan sebagai refleksi kultur urban yang semakin penuh jebakan sosial. Di kota besar, narasi “mengemis melalui manipulasi” kadang terasa seperti realitas yang terus berulang. Sebagian warga kota semakin paham bahwa tidak semua drama di jalanan adalah peristiwa nyata. Banyak adalah skenario.
Jalur Psikologis: Menyerang Empati Secara Cepat
Mengapa modus ini dipakai?
Karena secara psikologis, manusia cenderung reflektif terhadap penderitaan orang lain. Jika ada seseorang jatuh, tertabrak, atau tergeletak, naluri membantu langsung muncul dalam 2–3 detik. Modus Pura-Pura Ditabrak memanfaatkan respons spontan itu. Ia menyerang empati lebih dulu, sebelum logika sempat menganalisa teknis peristiwa.
Bayangkan: kamu menyetir pelan, seseorang tiba-tiba menabrakkan diri ke mobil, kemudian langsung mengerang. Biasanya pengemudi langsung takut, panik, dan merasa bisa disalahkan. Pada momen itulah biasanya pelaku akan memancing “tanggung jawab”. Pada konteks tertentu, uang cepat bisa diperoleh tanpa harus memicu proses hukum.
Namun dalam kasus Tanah Abang, hipotesa itu ternyata gagal.
Masyarakat Jakarta Mulai Mengalami Evolusi Kewaspadaan
Dilansir dari ayoindonesiacom Melihat pengendara lain yang mengingatkan untuk tidak merespons, kita bisa menyimpulkan bahwa warga kota mulai memiliki “memori kolektif” tentang modus-modus ini. Dengan banyaknya kasus manipulatif di perkotaan, masyarakat semakin resisten terhadap stimulus yang sebelumnya mudah memicu kepanikan.
Di kota besar, sebagian warga tidak lagi mudah masuk ke skenario yang dibuat dadakan. Mereka sudah tahu bahwa ada strategi kriminalitas mikro yang bermanuver dengan psikologi korban, bukan dengan kekerasan fisik brutal.
Dalam jangka panjang, kewaspadaan publik ini bisa menjadi perlindungan sosial. Namun sisi lain, kita harus tetap berhati-hati agar tidak menjadi apatis dan abai terhadap kejadian nyata.
Sebab, tidak semua orang terjatuh itu sedang menipu.
Pentingnya Menghubungkan Akal Sehat dan Prosedur
Jika kejadian aneh terjadi di jalan raya, langkah paling aman bukan panik. Bukan spontan menyerahkan uang. Dan bukan pula langsung menjauh tanpa interaksi. Solusi paling aman dan prosedural selalu sama:
- berhenti di tempat aman
- dokumentasikan situasi dengan video / foto
- hubungi aparat berwenang
Dengan catatan penting: tidak ada tuduhan langsung tanpa fakta. Tidak ada asumsi kriminal tanpa bukti. Kita tidak perlu langsung menjadi hakim jalanan.
Fenomena Urban yang Akan Semakin Banyak Terekam Kamera
Jakarta 2025 bukan Jakarta 2010.
Sudah ada ribuan CCTV kota. Sudah ada puluhan ribu dash-cam di mobil publik dan pribadi. Sudah ada puluhan juta HP yang bisa mem-videokan setiap detik dinamika jalanan. Fenomena seperti Pura-Pura Ditabrak akan semakin terekam, semakin terbongkar, dan semakin mungkin menjadi bukti digital. Kota ini secara organik akan mengembangkan “imunitas sosial” terhadap pola kejahatan manipulatif.
Pada titik ini, narasi viral bukan lagi sekadar hiburan. Ia menjadi arsip moral dan referensi sosial. Kita belajar lewat video pendek. Kita menjadi cerdas karena kita melihat pola.
Fenomena Tanah Abang ini bukan sekadar cerita sepele di pinggir jalan.
Ini adalah cermin kita.
Bahwa kejahatan mikro di kota besar tidak selalu memakai pisau. Tidak selalu memakai ancaman. Banyak yang memanfaatkan psikologi. Banyak yang memanfaatkan empati. Dan publik pun harus naik kelas. Dengan akal sehat. Dengan kewaspadaan. Tanpa paranoia.
Sebab kota besar bukan hanya tempat bergeraknya jutaan manusia. Tetapi juga tempat bergeraknya jutaan pola manipulasi.
Dan kita harus siap.

