.webp?updatedAt=1760603492788&ik-s=083adcac24597011b0d13b1cf42e0ce05a2fa045)
Indonesia Teguh di Jalur Hilirisasi Meski Dihantam Tekanan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan goyah menghadapi berbagai tekanan dari pihak-pihak yang ingin menggagalkan kebijakan hilirisasi mineral dan tambang.
Menurutnya, banyak tekanan datang, tapi Bahlil bilang: kita tidak mundur soal hilirisasi! Langkah ini bukan hanya tentang ekonomi, melainkan juga tentang kedaulatan bangsa.
“Indonesia sekarang sudah berjalan di jalur yang benar, sesuai rencana besar yang telah disusun dengan matang. Tapi setiap langkah maju pasti ada yang merasa tidak nyaman — baik dari luar maupun dari dalam negeri,” ujar Bahlil dalam sebuah forum industri tambang nasional.
Hilirisasi: Strategi Mengubah Arah Ekonomi Indonesia
Dilansir suara.com, Kebijakan hilirisasi menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi era pemerintahan saat ini. Tujuannya sederhana namun strategis — agar Indonesia tidak lagi hanya mengekspor bahan mentah, tetapi mampu mengolah dan memproduksi barang bernilai tambah tinggi di dalam negeri.
Menurut Bahlil, hilirisasi bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan transformasi besar untuk memutus ketergantungan terhadap pola kolonial lama.
“Kalau kita terus mengekspor barang mentah, sama saja seperti zaman VOC dulu. Mereka ambil bahan mentah dari sini, olah di luar negeri, lalu jual kembali ke kita dengan harga berkali lipat. Itu pola lama yang tidak boleh diulang,” tegasnya.
Dampak Positif Hilirisasi: Ekonomi Melonjak dan Lapangan Kerja Tumbuh
Bahlil menjelaskan, hasil nyata dari kebijakan ini sudah terlihat jelas.
Contohnya, nilai ekspor nikel Indonesia melonjak tajam — dari sekitar US$ 3,3 miliar pada 2017–2018 menjadi US$ 35–40 miliar pada 2023–2024.
Kenaikan hampir sepuluh kali lipat ini menjadi bukti bahwa pengolahan sumber daya di dalam negeri memberikan manfaat besar.
Selain nikel, PT Freeport Indonesia kini mampu memproduksi 50–60 ton emas per tahun dari sekitar 3 juta ton konsentrat, sedangkan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) menghasilkan 18–20 ton emas dari sekitar 1 juta ton konsentrat.
“Dulu angka-angka ini bahkan tidak ada. Sekarang kita bisa mengelola kekayaan kita sendiri dan membuka lapangan kerja di berbagai daerah,” kata Bahlil dengan optimistis.
Banyak Tekanan, Tapi Bahlil Bilang: Kita Tidak Mundur Soal Hilirisasi!
Meski hasilnya nyata, jalan menuju kemandirian ekonomi ini tidak mudah.
Bahlil mengaku, ada pihak-pihak yang melobi keras agar pemerintah membuka kembali ekspor barang mentah.
Namun, ia menegaskan dengan tegas: Indonesia tidak akan mundur, sekalipun ditekan.
“Banyak yang datang lobby ke saya. Mereka minta supaya ekspor bahan mentah dibuka lagi. Tapi saya katakan, kalau kita kembali ke sana, apa bedanya dengan zaman VOC? Kita sudah belajar, sudah berkembang, dan sekarang waktunya berdiri di atas kaki sendiri,” ujarnya lantang.
Menurutnya, membiarkan ekspor mentah berarti mengorbankan nilai tambah, keuntungan industri lokal, dan kesempatan kerja bagi rakyat Indonesia.
Hilirisasi justru menjadi kunci menciptakan lapangan pekerjaan baru, menggerakkan industri dalam negeri, dan memperkuat ekonomi daerah.
Membangun Kedaulatan Ekonomi Lewat Pengolahan di Dalam Negeri
Bahlil menilai, kemandirian ekonomi hanya bisa dicapai bila Indonesia mampu mengolah sumber daya alamnya sendiri.
Karena itu, hilirisasi harus terus dijalankan secara konsisten. Pemerintah bahkan tengah mendorong hilirisasi bauksit, tembaga, hingga timah, agar tidak ada lagi mineral strategis yang diekspor mentah.
“Kalau semua diolah di sini, nilai tambahnya tinggal di Indonesia. Rakyat yang menikmati hasilnya, bukan orang lain,” jelasnya.
Ia menambahkan, strategi ini juga membuka peluang besar bagi investor global untuk berkolaborasi membangun pabrik pengolahan dan industri turunan di berbagai wilayah Indonesia.
Kolaborasi Terbuka, Tapi Aturan Tetap Tegas
Meskipun menutup ekspor bahan mentah, Bahlil menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup diri terhadap investasi asing.
Sebaliknya, pemerintah membuka ruang kolaborasi yang saling menguntungkan, selama semua pihak mematuhi aturan hilirisasi dan mendukung pembangunan industri dalam negeri.
“Kita tetap terbuka untuk kerja sama, tapi harus mengikuti aturan main yang adil. Investasi boleh datang dari luar, tapi nilai tambahnya harus tinggal di Indonesia,” ujar Bahlil.
Dengan pendekatan ini, pemerintah berharap bisa menciptakan ekosistem industri nasional yang kuat, mulai dari pengolahan bahan mentah hingga produksi barang jadi, tanpa harus kembali ke pola lama yang hanya menguntungkan pihak luar.
Menatap Ke Depan: Indonesia Menuju Lembaran Baru Ekonomi
Di akhir pernyataannya, Bahlil menyampaikan pesan tegas kepada semua pihak:
Indonesia tidak boleh kembali pada kebiasaan lama yang hanya menjadi pemasok bahan mentah dunia.
Bangsa ini harus berani menulis lembaran baru dalam sejarah ekonominya — lembaran yang berisi kemandirian, inovasi, dan kesejahteraan rakyat.
“Kita sudah sekolah tinggi-tinggi, masa masih mau pakai cara lama? Sudah saatnya kita menatap masa depan baru, untuk rakyat, bangsa, dan negara,” pungkasnya.
Kesimpulan: Hilirisasi Adalah Jalan Kemandirian Bangsa
Kebijakan hilirisasi bukan tanpa tantangan, tapi manfaatnya sudah terbukti.
Meski banyak tekanan, Bahlil bilang: kita tidak mundur soal hilirisasi!
Langkah tegas ini menandai transformasi besar Indonesia menuju ekonomi yang lebih berdaulat, produktif, dan adil bagi seluruh rakyatnya.
Dengan konsistensi dan keberanian, Indonesia sedang menulis babak baru sejarah ekonomi — dari negeri pengekspor bahan mentah menjadi negara pengolah bernilai tinggi.

