
Kisah memilukan datang dari Bandar Lampung. Seorang siswi SMP bernama Gina Dwi Sartika (16) menjadi sorotan publik setelah kisahnya viral di media sosial. Remaja ini mengaku sering dibully di sekolah karena latar belakang keluarganya yang miskin, namun bukannya mendapat perlindungan, ia justru dikeluarkan dari sekolah.
Peristiwa ini kemudian dikenal luas dengan judul yang menyayat hati: “Dibully jadi pemulung, siswi ini malah dikeluarkan dari sekolah.” Cerita Gina membuka mata banyak orang tentang masih kuatnya stigma terhadap kemiskinan di dunia pendidikan.
Awal Mula Kasus: Ketika Sekolah Tak Lagi Jadi Tempat Aman
Dilansir liputan6.com, Gina adalah siswi kelas VIII di SMP Negeri 13 Bandar Lampung. Ia hidup sederhana bersama ibunya, Misna Megawati, yang bekerja sebagai pemulung dan pencari barang rongsokan untuk menafkahi enam anaknya.
Sejak lama, Gina menjadi bahan ejekan di sekolah. Teman-temannya kerap menghina profesi ibunya dan mengejek dirinya dengan sebutan “anak pemulung”.
“Mereka sering hina orang tua saya. Dibilang pemulung, tukang rongsokan. Saya nggak suka kalau orang tua dihina,” tutur Gina dalam sebuah wawancara yang beredar di media sosial.
Tekanan dan rasa malu membuat Gina sering menangis sepulang sekolah. Namun, ketika keluarga mencoba meminta perlindungan dari pihak sekolah, justru muncul keputusan yang mengejutkan.
Ironi: Korban Bullying Malah Dikeluarkan
Sang ibu, Misna, mengaku kaget ketika mendengar anaknya justru dikeluarkan dari sekolah setelah melapor.
“Kata gurunya, daripada milih satu anak dan yang lain bubar, yaudah Gina dikeluarin,” ungkap Misna dengan nada sedih.
Dalam video yang viral, Misna tampak menangis menceritakan bagaimana Gina tiba-tiba dipulangkan oleh guru tanpa penjelasan yang adil. Keputusan itu membuat Gina kehilangan semangat belajar dan merasa diperlakukan tidak adil.
Suara Sekolah: Bantahan dan Versi Lain
Pihak sekolah melalui Wakil Kepala SMPN 13 Bandar Lampung, Abdul Rohman, membantah telah mengeluarkan Gina. Ia menyebut bahwa Gina sendiri yang berhenti datang ke sekolah setelah merasa minder.
“Tidak ada pembullyan di sekolah. Mungkin anak itu minder karena kondisi keluarganya. Setelah tantenya meninggal, kami kehilangan kontak. Dia tidak masuk lagi ke sekolah,” jelas Abdul.
Kepala sekolah, Amaroh, juga memberikan tanggapan serupa. Menurutnya, pihak sekolah justru ingin membantu agar Gina tetap bisa mendapatkan ijazah melalui program pendidikan kesetaraan (paket).
“Kami ingin Gina tetap belajar. Kalau pun melalui paket, kami siap bantu,” ujar Amaroh.
Namun, publik menilai pernyataan ini tidak cukup menjawab fakta bahwa Gina sempat menjadi korban ejekan yang berulang dan merasa tidak mendapat perlindungan memadai.
Kehidupan Penuh Perjuangan di Balik Kisah Gina
Di rumah kontrakan kecil di Kelurahan Beringin Raya, Kecamatan Kemiling, Gina kini lebih banyak membantu ibunya memungut barang bekas. Penghasilannya hanya cukup untuk makan seadanya.
Misna mengaku penghasilannya sebagai pemulung sekitar Rp600 ribu per bulan, sebagian besar habis untuk membayar kontrakan sebesar Rp300 ribu.
“Kadang dua hari tiga hari nggak makan. Kalau anak yang kerja ngirim uang, baru bisa beli beras,” tuturnya.
Meski demikian, Gina masih menyimpan harapan untuk kembali bersekolah.
“Saya masih ingin sekolah lagi kalau ada yang mau bantu,” ujarnya lirih.
Reaksi Publik dan Kecaman Netizen
Video kesaksian Gina dan ibunya menuai reaksi luas di dunia maya. Banyak netizen mengecam pihak sekolah yang dinilai gagal memberikan perlindungan terhadap korban bullying.
Komentar-komentar bernada empati membanjiri media sosial:
- “Sekolah seharusnya jadi tempat aman, bukan malah mengorbankan korban.”
- “Kasihan, anak ini cuma mau belajar, tapi malah dijatuhkan karena kemiskinan.”
Tagar #SaveGina dan #StopBullying sempat ramai di platform X dan TikTok, menandakan kepedulian publik terhadap isu perundungan di lingkungan pendidikan.
Fenomena “Menutup Mata” terhadap Perundungan di Sekolah
Kasus “Dibully jadi pemulung, siswi ini malah dikeluarkan dari sekolah” mencerminkan masalah yang lebih luas: budaya diam terhadap bullying.
Sering kali, korban dipaksa untuk menanggung beban sendirian, sementara lingkungan sekitar memilih diam atau bahkan menyalahkan korban. Dalam kasus Gina, tekanan sosial dan ketimpangan ekonomi memperparah situasi.
Menurut sejumlah pemerhati pendidikan, pihak sekolah seharusnya memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan bullying yang jelas, bukan justru mengeluarkan siswa tanpa proses pendampingan psikologis maupun sosial.
Harapan Gina: Sekolah Bukan untuk yang Mampu Saja
Meski sempat trauma, Gina masih punya mimpi sederhana: bisa sekolah lagi dan membanggakan ibunya. Ia ingin membuktikan bahwa anak pemulung pun berhak punya masa depan.
“Saya pengen sekolah lagi, biar bisa bantu ibu nanti,” kata Gina dengan senyum kecil.
Misna, sang ibu, berharap pemerintah dan masyarakat mau membantu anak-anak miskin seperti Gina agar tak kehilangan hak belajar hanya karena kemiskinan.
“Saya ingin anak-anak saya sekolah tinggi, jangan kayak saya yang cuma sampai kelas empat SD,” harapnya.
Pelajaran dari Kasus Gina
Kisah “Dibully jadi pemulung, siswi ini malah dikeluarkan dari sekolah” bukan sekadar berita viral. Ini adalah cermin nyata bagaimana perundungan dan diskriminasi sosial masih terjadi di dunia pendidikan Indonesia.
Kita belajar bahwa:
- Sekolah harus menjadi ruang aman bagi semua siswa, tanpa pandang status sosial.
- Guru dan pihak sekolah memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi korban perundungan.
- Masyarakat perlu berhenti menstigma kemiskinan dan mulai membangun empati sosial.
Penutup: Saat Mimpi Anak Pemulung Harus Bertahan
Kini, Gina mungkin sudah tidak duduk di bangku sekolah seperti teman-temannya, tetapi semangatnya untuk belajar belum padam. Ia adalah simbol keteguhan di tengah ketidakadilan sosial.
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa pendidikan bukan hak istimewa bagi yang mampu, melainkan hak dasar bagi setiap anak Indonesia.
Semoga kisah Gina membuka mata banyak pihak agar tidak ada lagi cerita serupa—tidak ada lagi anak yang dibully jadi pemulung lalu malah dikeluarkan dari sekolah.

