
Kornet.co.id – Kegelisahan mulai terasa di berbagai daerah di Indonesia. Sejumlah Gubernur dari berbagai provinsi memutuskan turun langsung ke lapangan, bukan untuk acara seremonial, melainkan menyuarakan keberatan terhadap kebijakan pemerintah pusat. Aksi ini bukan tanpa alasan — mereka menolak rencana pemotongan TKD (Transfer ke Daerah) yang dianggap dapat melemahkan kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan dan pelayanan publik.
Pada hari Senin yang tegang itu, suasana di Kantor Kementerian Keuangan mendadak ramai. Para Gubernur datang berombongan, menyampaikan protes mereka kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Purbaya Yudhi Sadewa. Bagi mereka, kebijakan pemotongan TKD bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan persoalan hidup masyarakat di daerah yang mereka pimpin.
Latar Belakang Pemotongan TKD
Pemerintah pusat sebelumnya berencana melakukan penyesuaian TKD demi menyeimbangkan beban fiskal nasional. Pemangkasan tersebut diperkirakan mencapai 10 hingga 25 persen, tergantung pada kapasitas fiskal masing-masing daerah. Namun, langkah ini langsung menuai reaksi keras dari para Gubernur, terutama yang berasal dari wilayah dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap dana pusat.
Salah satu Gubernur yang paling vokal adalah dari Aceh. Ia menegaskan bahwa TKD merupakan urat nadi keuangan daerah. “Kalau TKD dipotong, bagaimana kami bisa menjalankan program pembangunan dan membayar kebutuhan dasar masyarakat?” katanya tegas di hadapan pejabat Kemenkeu.
Bagi daerah-daerah seperti Aceh, Papua, dan NTT, dana transfer ini menjadi sumber utama pembiayaan. Tanpa dukungan penuh dari pusat, banyak proyek infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan bisa mandek.
Suara Tegas dari Para Pemimpin Daerah
Aksi para Gubernur ini menunjukkan kekompakan yang jarang terlihat. Mereka tidak datang dengan amarah semata, melainkan membawa data dan argumentasi. Menurut mereka, rencana pemangkasan TKD bisa berimbas pada:
- Tertundanya proyek-proyek strategis daerah.
Banyak program pembangunan jalan, jembatan, hingga fasilitas publik yang bergantung pada ketersediaan TKD. - Menurunnya kualitas pelayanan publik.
Ketika dana operasional berkurang, dampaknya langsung terasa di layanan kesehatan, pendidikan, dan sosial. - Ancaman terhadap stabilitas ekonomi daerah.
Pemotongan TKD berarti berkurangnya peredaran uang di daerah, yang bisa menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat roda ekonomi lokal.
Seorang Gubernur dari Kalimantan bahkan menyampaikan bahwa langkah pemerintah pusat ini seolah “memukul daerah dua kali”: pertama lewat inflasi yang naik, kedua lewat pengurangan dana pembangunan.
Respons dari Pihak Kementerian
Dilansir Dari Detik.com Purbaya Yudhi Sadewa, yang menjadi sorotan utama dalam pertemuan itu, mencoba menenangkan suasana. Ia menjelaskan bahwa kebijakan penyesuaian TKD dilakukan demi efisiensi anggaran negara dan menjaga keseimbangan fiskal pasca pandemi serta beban subsidi energi yang membengkak.
Namun, penjelasan itu tidak langsung menenangkan para Gubernur. Mereka menilai kebijakan pusat tidak memperhitungkan kompleksitas kondisi di lapangan. Beberapa daerah bahkan masih berjuang memulihkan ekonomi lokal pasca krisis, dan pemangkasan TKD bisa menjadi pukulan telak.
Salah satu Gubernur sempat mengingatkan, “Kami bukan menolak efisiensi, tapi tolong lihat kenyataan di daerah. Beban kami sudah berat. Kalau TKD dikurangi, rakyat yang akan menanggung akibatnya.”
Gubernur Aceh Jadi Sorotan
Sosok Gubernur Aceh menjadi figur yang mencuri perhatian dalam aksi tersebut. Dengan suara bergetar namun tegas, ia menolak keras pemotongan TKD yang mencapai seperempat dari anggaran tahun ini. Ia mengungkapkan bahwa Aceh masih memerlukan banyak pembenahan — dari infrastruktur pedesaan hingga kesejahteraan masyarakat pasca konflik dan pandemi.
Baginya, kebijakan ini tidak hanya soal uang, tetapi soal keadilan fiskal antara pusat dan daerah. “Jangan jadikan daerah sebagai korban kebijakan fiskal pusat,” ucapnya di hadapan media. Pernyataan itu pun viral dan mendapat dukungan luas dari warganet, terutama dari masyarakat Aceh.
Reaksi Publik dan Pengamat
Aksi para Gubernur ini mendapat berbagai respons. Sebagian masyarakat mendukung, menganggap langkah tersebut sebagai bentuk keberanian kepala daerah dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Namun, ada juga yang menilai bahwa pemotongan TKD memang perlu untuk menghindari defisit anggaran nasional yang semakin melebar.
Ekonom dari Universitas Indonesia, misalnya, menilai bahwa pemerintah pusat perlu mencari jalan tengah. Ia berpendapat, efisiensi fiskal bisa dilakukan dengan memangkas pengeluaran non-produktif di tingkat pusat, tanpa harus mengorbankan daerah.
Sementara itu, sejumlah Gubernur dikabarkan akan terus mengawal pembahasan TKD hingga keputusan akhir diumumkan. Mereka menuntut transparansi dan evaluasi mendalam agar pemotongan tidak dilakukan secara serampangan.
Harapan untuk Pemerintah dan Daerah
Kisruh antara pemerintah pusat dan para Gubernur ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem hubungan fiskal Indonesia. Desentralisasi yang sehat tidak akan berjalan jika daerah terus bergantung pada dana pusat tanpa diberi ruang untuk mengelola sumber pendapatannya sendiri.
Namun di sisi lain, pemerintah pusat juga harus bijak. Kebijakan efisiensi anggaran tidak bisa diberlakukan dengan cara seragam. Setiap daerah memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda.
Para Gubernur berharap agar suara mereka tidak dianggap sebagai bentuk pembangkangan, melainkan sebagai masukan konstruktif demi keadilan fiskal yang lebih merata.
Penutup
Kunjungan para Gubernur ke Kantor Purbaya mungkin hanya berlangsung beberapa jam, tetapi gema tuntutan mereka bergema hingga ke ruang publik nasional. Mereka datang bukan membawa slogan politik, tetapi membawa realitas daerah yang masih butuh perhatian serius.
TKD bukan sekadar dana transfer. Ia adalah denyut kehidupan bagi jutaan masyarakat di luar Jakarta. Jika pemotongan dilakukan tanpa kebijakan yang matang, maka pembangunan di daerah bisa tersendat, dan kesenjangan antara pusat dan daerah akan semakin menganga.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah pusat. Akankah mereka mendengarkan suara para Gubernur, atau tetap berpegang pada kalkulasi fiskal yang dingin? Waktu yang akan menjawab.

