
Kabar mengejutkan datang dari sektor perhotelan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hotel Syariah di Mataram tetap kena tagihan royalti meski cuma putar murottal, sebuah aturan yang sontak menimbulkan polemik. Para pengusaha hotel merasa terbebani dengan kewajiban ini karena mereka tidak memutar musik hiburan komersial, melainkan hanya lantunan ayat suci Al-Qur’an atau suara alam dari platform digital seperti YouTube.
Tagihan tersebut berasal dari kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menghitung kewajiban pembayaran royalti berdasarkan jumlah kamar, bukan pada jenis audio yang diputar. Artinya, meskipun hotel tidak menayangkan musik komersial sama sekali, kewajiban royalti tetap berlaku.
Pengusaha Hotel Syariah: “Kami Hanya Putar Murottal”

Salah satu suara penolakan datang dari General Manager Hotel Madani Mataram, Rega Fajar Firdaus. Ia mengungkapkan bahwa hotelnya tetap dikenai tagihan royalti sebesar Rp4,4 juta per tahun meski tidak pernah menggunakan musik hiburan.
“Yang kami putar hanya murottal Al-Qur’an, kadang juga suara alam. Tapi tetap saja kena tagihan. Rasanya aturan ini tidak adil,” keluh Rega.
Menurutnya, musik bukanlah kebutuhan utama tamu hotel syariah. Apalagi, kondisi ekonomi pascapandemi membuat industri perhotelan masih berusaha keras bangkit. Ditambah lagi, biaya operasional seperti listrik, air, hingga pajak daerah sudah cukup membebani.
Asosiasi Hotel Mataram Angkat Suara

Menanggapi keresahan anggotanya, Asosiasi Hotel Mataram (AHM) langsung merespons cepat. Mereka berencana menggelar rapat koordinasi pada 21 Agustus mendatang untuk menyatukan sikap bersama sebelum berdialog dengan LMKN.
Dilansir dari GELORA.CO Dari data internal, sebagian hotel di Mataram sudah melakukan pembayaran royalti agar terhindar dari sanksi, sementara lainnya memilih menolak karena merasa aturan tidak masuk akal.
Yang membuat suasana makin panas, dalam aturan LMKN disebutkan bahwa hotel yang menolak membayar bisa terancam sanksi pidana hingga 10 tahun penjara atau denda maksimal Rp4 miliar. Ancaman ini tentu membuat pelaku usaha semakin resah.
Polemik di Tengah Kebangkitan Pariwisata
Kebijakan royalti musik sebenarnya bertujuan mulia, yakni melindungi hak cipta musisi dan pencipta lagu. Namun, penerapannya pada hotel syariah di Mataram yang hanya memutar murottal dinilai kurang tepat sasaran.
Banyak pelaku usaha menilai seharusnya ada pengecualian atau setidaknya penyesuaian untuk hotel syariah. Hal ini penting agar kewajiban royalti benar-benar relevan dengan praktik di lapangan.
“Jika semua dipukul rata, maka hotel-hotel kecil atau syariah akan tertekan. Padahal mereka tidak mengandalkan musik hiburan sebagai daya tarik,” ujar salah satu anggota AHM.
Netizen Ramai Kritik Kebijakan LMKN
Polemik ini tak hanya bergema di kalangan pengusaha, tetapi juga ramai diperbincangkan warganet. Beberapa komentar di media sosial menggambarkan kebingungan publik.
- “Lho, kok murottal kena royalti juga? Apa logikanya?” tulis akun @lombokinside.
- “Hotel kecil bayar listrik aja sudah susah, ini ditambah lagi royalti. Kebijakan kok makin berat.” ungkap akun @travelingaja.
- “LMKN seharusnya transparan. Uang royalti benar-benar sampai ke pencipta lagu atau tidak?” kritik akun @candrapurnama.aji.
Tak sedikit pula komentar bernada sarkastis, mempertanyakan ke mana aliran dana royalti tersebut akan berakhir.
Dampak Bagi Industri Perhotelan
Jika aturan ini terus dipaksakan tanpa revisi, dikhawatirkan akan muncul beberapa dampak:
- Beban Biaya Tambahan – Hotel kecil dan menengah akan kesulitan menutupi biaya operasional.
- Penurunan Daya Saing – Tarif kamar bisa naik untuk menutup biaya royalti, sehingga wisatawan memilih hotel lain.
- Resiko Hukum – Ancaman pidana dan denda besar membuat pengusaha berada dalam posisi serba salah.
- Kebangkitan Pariwisata Terhambat – Mataram sebagai destinasi wisata bisa kehilangan daya tarik bila banyak hotel gulung tikar.
Harapan Pengusaha Hotel
Meski keberatan, para pengusaha tetap berharap ada jalan tengah. Mereka tidak menolak pentingnya perlindungan hak cipta, namun ingin aturan yang lebih proporsional.
Beberapa usulan yang muncul antara lain:
- Pengecualian khusus bagi hotel syariah yang hanya memutar murottal.
- Skema tarif berbeda berdasarkan jenis audio yang diputar.
- Dialog terbuka antara LMKN, pemerintah, dan pelaku usaha agar kebijakan tidak merugikan satu pihak.
Jika langkah dialog berjalan lancar, diharapkan solusi win-win bisa tercapai. Dengan begitu, hak cipta tetap terlindungi tanpa mengorbankan keberlangsungan bisnis hotel syariah.
Penutup
Kasus Hotel Syariah di Mataram tetap kena tagihan royalti meski cuma putar murottal membuka perdebatan baru tentang keadilan regulasi. Di satu sisi, hak cipta memang harus dijaga. Namun di sisi lain, penerapan aturan yang kaku bisa menimbulkan dampak negatif bagi dunia usaha, terutama sektor perhotelan yang sedang berjuang bangkit.
Kini, semua pihak menunggu hasil rapat AHM dengan LMKN. Harapan terbesar adalah hadirnya solusi bijak yang adil bagi semua, sehingga industri perhotelan tetap berjalan sehat dan hak pencipta lagu tetap terlindungi.

