
Film animasi Merah Putih One For All awalnya diharapkan menjadi karya yang membanggakan perfilman Indonesia. Mengusung tema persatuan dan semangat kebangsaan, film ini memiliki potensi besar untuk menyentuh hati penonton, terutama menjelang perayaan Hari Kemerdekaan. Namun, sejak trailer-nya dirilis, justru gelombang kritik deras mengiringinya. Mulai dari kualitas visual hingga transparansi anggaran, semua menjadi sorotan publik.
Anggaran Fantastis Film animasi Merah Putih One For All tetapi, Hasil Dipertanyakan
Film Merah Putih One For All ini kabarnya menelan biaya produksi mencapai Rp 6,7 miliar. Angka tersebut tentu mengundang ekspektasi tinggi, mengingat industri animasi lokal semakin berkembang dan mampu melahirkan karya yang bersaing di kancah internasional. Namun, ketika trailer tayang, banyak warganet mempertanyakan kualitasnya. Mereka merasa visual yang ditampilkan tidak sepadan dengan dana besar yang disebutkan, bahkan ada yang membandingkannya dengan grafis game konsol era awal 2000-an.
Dugaan Penggunaan Aset Siap Pakai
Salah satu tudingan yang paling banyak dibahas adalah dugaan penggunaan pre-made assets atau aset siap pakai, yang umumnya bisa dibeli dari platform animasi seperti Reallusion. Kritikus menilai, jika memang benar, langkah ini seharusnya diimbangi dengan kreativitas tinggi dalam modifikasi dan storytelling, sehingga hasil akhir tetap terasa orisinal. Namun, publik menilai karya Merah Putih One For All kurang memperlihatkan sentuhan unik yang biasanya menjadi identitas film nasional.
Perbandingan dengan Film Jumbo
Dialnsir dari detikpop, Tak sedikit netizen yang membandingkan Merah Putih One For All dengan Jumbo, film animasi Indonesia yang lebih dulu sukses menarik perhatian lewat kualitas visual yang matang dan cerita yang solid. Bahkan, Ryan Adriandhy, sutradara Jumbo, melontarkan sindiran halus dengan mengatakan bahwa karya yang dibuat “tanpa niat tulus dan secara asal-asalan” akan semakin tersingkirkan. Pernyataan ini sontak memanaskan diskusi di media sosial.
Produksi Kilat, Kualitas Terburu-buru
Fakta lain yang terungkap adalah proses produksi yang berlangsung singkat. Proyek ini disebut mulai digarap pada Juni 2025 dan selesai dalam waktu sekitar dua bulan, menjelang jadwal tayang pada 14 Agustus 2025. Tempo pengerjaan yang tergolong sangat cepat untuk sebuah film animasi Merah Putih One For All membuat publik menduga inilah penyebab hasil visual yang dianggap kurang maksimal.
Respons Produser yang Mengundang Perdebatan

Di tengah derasnya kritik, produser Toto Soegriwo memberikan tanggapan yang cukup santai. Melalui akun Instagram pribadinya, ia menulis, “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain…” Respons ini memicu pro-kontra: sebagian menilai sebagai bentuk kedewasaan menghadapi kritik, namun tak sedikit yang merasa pernyataan tersebut menunjukkan kurangnya keseriusan dalam menanggapi masukan publik.
Antara Misi Mulia dan Eksekusi
Sejatinya, Merah Putih One For All memiliki misi mulia: menghadirkan kisah yang menumbuhkan rasa cinta tanah air di kalangan generasi muda. Sayangnya, eksekusi yang dinilai kurang rapi justru mengaburkan pesan tersebut. Di era media sosial, kualitas visual dan teknis menjadi sorotan utama, apalagi jika dana besar terlibat di balik layar.
Pelajaran untuk Industri Animasi Lokal
Kontroversi ini memberikan pelajaran penting bagi industri animasi Indonesia. Pertama, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran sangat krusial, terutama jika dana berasal dari pihak publik atau sponsor besar. Kedua, kualitas tak bisa dikejar hanya dengan modal besar; dibutuhkan perencanaan matang, tim yang kompeten, dan waktu pengerjaan yang memadai. Ketiga, kritik publik seharusnya menjadi masukan konstruktif, bukan sekadar bahan perdebatan.
Penutup
Merah Putih One For All akan tetap tercatat sebagai salah satu film animasi Indonesia yang menuai sorotan besar, bukan hanya karena temanya yang nasionalis, tetapi juga kontroversi yang melingkupinya. Waktu yang akan membuktikan apakah film ini mampu bangkit dari gelombang kritik dan menjadi karya yang dikenang karena pesan moralnya, atau justru menjadi contoh kasus tentang pentingnya keselarasan antara visi, anggaran, dan eksekusi.

