
Kornet.co.id – Kejadian tak terduga yang terjadi di Kediri, Jawa Timur, kembali menyentuh perhatian publik. Sebuah konvoi yang diduga melibatkan sejumlah Pesilat, mendadak masuk ke lingkungan permukiman warga, bahkan hingga menembus pekarangan rumah seseorang yang mereka sama sekali tak kenal. Aksi itu bukan hanya sekadar konvoi biasa. Ini menjadi eskalasi yang memantik kegelisahan, kemarahan, sekaligus pertanyaan besar: bagaimana bisa sekumpulan orang berani melakukan penetrasi ke ruang privasi warga dan melakukan kekerasan fisik?
Konvoi tersebut, berdasarkan rekaman CCTV yang beredar, tidak hanya lewat. Mereka masuk. Mereka menendang pintu. Mereka menjatuhkan motor milik warga. Dan bahkan melakukan pemukulan. Ketika warga dalam kondisi santai, tanpa ekspektasi akan ancaman apa pun, tiba-tiba mereka terkonfrontasi dengan sekelompok individu yang dalam tradisi identitasnya mengaku sebagai petarung, pelestari bela diri, atau yang sering disebut sebagai Pesilat.
Dalam kultur martial art Indonesia, Pesilat seharusnya membawa nilai kemartabatan, kedisiplinan, dan etika. Mereka adalah representasi budaya yang menjunjung kehormatan. Namun dalam kejadian ini, citra itu tercederai habis-habisan. Publik melihat sisi lain. Sisi yang brutal. Sisi yang tak terkendali.
Ketika Kekerasan Memasuki Batas Ruang Privat Warga
Ada hal yang sangat penting untuk dicatat: tindakan memasuki pekarangan rumah orang tanpa izin, apalagi disertai kekerasan, adalah pelanggaran serius. Ini bukan sekadar kenakalan remaja. Ini bukan sekadar aksi spontanitas. Ini sudah masuk ke ranah kriminal.
Dan pertanyaannya menjadi semakin besar: apa pemicu dari tindakan ini? Apakah ada konflik internal antar kelompok? Apakah ini sekadar adu gengsi identitas perguruan? Atau memang ada bias kekuasaan yang membuat mereka merasa bebas berbuat apa saja?
Yang ironis adalah, ketegangan itu mereda justru bukan karena aparat. Bukan karena negosiasi formal. Tetapi karena keberanian beberapa ibu-ibu warga setempat yang maju menghadang.
Fenomena ini memperlihatkan kontras sangat tajam. Para ibu yang selama ini dipandang hanya penjaga rumah, justru menunjukkan keberanian menghadang tindakan anarkis sekelompok Pesilat. Sementara pelaku yang mengaku jago, justru mundur dan bubar ketika dihadapkan pada ketegasan moral dari warga perempuan.
Dampak Sosial: Image Buruk yang Menodai Nama Silat
Dilansir dari ayoindonesiacom Harus disadari, kejadian ini bukan hanya masalah kekerasan biasa. Ini merusak reputasi perguruan pencak silat. Ini merusak marwah seni bela diri yang seharusnya menjadi warisan. Dalam banyak ranting dan padepokan, pencak silat diajarkan untuk menahan diri. Untuk membela diri, bukan untuk menyerang.
Namun satu aksi seperti ini saja sudah cukup untuk menodai citra mereka secara nasional.
Publik akan mengingatnya. Orang-orang akan berkata, “Jangan ikut itu, nanti sama seperti video yang viral kemarin.” Banyak perguruan silat akan terdampak secara psikologis dan sosial akibat citra yang tercoreng ini.
Apalagi kejadian semacam ini bukan pertama kali. Fenomena konvoi Pesilat yang berujung ricuh sudah beberapa kali muncul di berbagai daerah.
Aparat Harus Tegas: Agar Tidak Terulang
Ini bukan hanya soal amukan sesaat. Ini soal keamanan. Ini soal moral publik.
Aparat seharusnya mengambil langkah konkret. Identifikasi pelaku Pesilat. Pastikan mereka diproses. Jangan biarkan residu kekerasan menjadi budaya baru.
Negara tidak boleh kalah dengan gengsi kelompok apa pun yang mengatasnamakan tradisi bela diri.
Jika aparat membiarkan ini berlalu begitu saja, maka kejadian serupa hanya tinggal menunggu waktu dan lokasi lain. Karena orang-orang akan membangun narasi “boleh kok, kemarin aja aman.”
Ini yang harus dicegah.
Penutup
Silat adalah warisan. Martial art adalah kebanggaan. Tetapi jika warisan itu dipakai untuk menunjukkan kekuasaan liar tanpa etika, maka itu bukan lagi silat. Itu hanyalah kekerasan yang memakai nama budaya.
Kejadian konvoi Pesilat yang masuk ke rumah orang dan melakukan penyerangan ini menjadi alarm keras untuk seluruh masyarakat. Kita harus mulai mengembalikan lagi esensi bela diri sebagai sarana melindungi, bukan menyerang.
Karena pada akhirnya, budaya hanya bisa dihormati jika dijalankan dengan moral dan batasan yang benar. Jika tidak, ia hanya akan menjadi senjata yang memukul balik pemilik nilai itu sendiri.

