
Sidang MKD Berujung Keputusan Mengejutkan
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI akhirnya mengambil keputusan atas sidang etik yang melibatkan lima anggota DPR nonaktif buntut aksi demo besar akhir Agustus 2025. Dari hasil persidangan yang digelar Senin (3/11/2025), dua nama yang mencuri perhatian publik, Surya Utama alias Uya Kuya dan Adies Kadir, dinyatakan tidak terbukti melanggar etik DPR RI dan direkomendasikan diaktifkan kembali sebagai anggota dewan.
Putusan ini dibacakan langsung dalam sidang pembacaan keputusan pada Rabu (5/11/2025). “Dengan ini Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan dan mengadili sebagaimana mestinya,” ujar salah satu anggota MKD dalam ruang sidang di Kompleks Parlemen Senayan.
Awal Mula Kasus: Dari Aksi Demo hingga Penonaktifan
Kasus ini bermula dari aksi demonstrasi besar pada 25–30 Agustus 2025 yang berujung pada penonaktifan lima anggota DPR RI oleh partainya masing-masing. Mereka adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (NasDem), Eko Patrio dan Uya Kuya (PAN), serta Adies Kadir (Golkar). Kelimanya dianggap mencoreng nama lembaga setelah muncul beragam video dan pernyataan yang menuai reaksi publik.
Namun, seiring berjalannya waktu, narasi baru muncul dalam persidangan MKD. Sejumlah ahli dan saksi menilai bahwa penonaktifan tersebut didasari informasi keliru dan hoaks, bukan karena pelanggaran etik yang nyata. Dari sinilah gelombang tuntutan agar status Uya Kuya dan Adies Kadir diaktifkan kembali mulai menguat.
Persidangan Dituding Berubah Arah
Dilansir kompas.id, Sidang pemeriksaan yang digelar MKD pada awal November diwarnai sorotan publik. Banyak pihak menilai, arah pertanyaan dari anggota MKD seolah ingin mencari pembenaran bagi para anggota dewan nonaktif. Alih-alih fokus pada pelanggaran etik, sidang dinilai lebih menyoroti kesalahpahaman publik akibat penyebaran konten di media sosial.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, bahkan menilai sidang ini sudah bergeser dari tujuan utama.
“Saksi-saksi diarahkan untuk menjawab pertanyaan yang cenderung membenarkan tindakan para anggota DPR. Seolah-olah penonaktifan itu hanya akibat informasi hoaks,” ujarnya.
Lucius khawatir MKD digunakan sebagai alat legalisasi politik partai untuk mengembalikan kadernya ke kursi DPR tanpa terlihat melanggar prosedur. “Partai bisa berdalih, ini bukan keputusan politik, tapi hasil sidang etik,” tambahnya.
Ahli Hukum: Tak Ada Pelanggaran Etik, Hanya Salah Pahami Publik
Dalam sidang yang menghadirkan berbagai ahli hukum dan sosiologi, Prof. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, menegaskan bahwa tidak ada unsur pelanggaran etik dalam kasus ini.
“Pernyataan Adies Kadir soal tunjangan hanya salah ucap. Beliau juga langsung mengklarifikasi keesokan harinya,” ujar Satya.
Ia menilai langkah klarifikasi cepat tersebut justru menunjukkan tanggung jawab. Menurutnya, kesalahan Adies tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar sanksi etik berat seperti penonaktifan.
Sementara itu, video lama Uya Kuya yang beredar di media sosial dan dianggap meledek publik ternyata bukan berasal dari peristiwa Sidang Tahunan MPR 2025, melainkan konten lama yang dipotong dan dipelintir. “Tidak ada pelanggaran, karena konteks videonya berbeda,” tegas Satya.
Uya Kuya dan Adies Kadir Dianggap Korban Framing
Banyak pihak akhirnya menilai Uya Kuya dan Adies Kadir hanyalah korban dari disinformasi media sosial.
Ahli sosiologi Trubus Rahadiansyah menambahkan bahwa aksi joget Uya Kuya dan Eko Patrio dalam sidang kenegaraan tidak bisa dianggap menyalahi norma. “Itu bentuk ekspresi perayaan kemerdekaan, bukan penghinaan terhadap lembaga atau rakyat,” katanya.
Menurut Trubus, publik cenderung terjebak pada framing video yang sudah dipotong-potong sehingga menimbulkan persepsi negatif. “Padahal, jika melihat video lengkapnya, tak ada hal yang pantas disebut pelanggaran,” ujarnya.
MKD Jadi Jalan Tengah Politik?
Keputusan MKD yang menyatakan Uya Kuya dan Adies Kadir lolos sanksi etik disebut sebagai jalan tengah politik. Pengamat politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menyebut MKD kemungkinan digunakan partai sebagai sarana formal agar pengaktifan kembali kadernya terlihat sah.
“Partai punya kepentingan menjaga stabilitas politik. Dengan hasil sidang MKD ini, pengaktifan kembali bisa dilakukan tanpa dianggap menyalahi keputusan awal,” ucapnya.
Namun Jamil juga mengingatkan, bila MKD terlalu sering dianggap berpihak, kepercayaan publik terhadap DPR bisa terus menurun. “Kalau masyarakat melihat MKD sebagai tameng politik, maka lembaga ini kehilangan legitimasi moral,” tegasnya.
Reaksi Publik dan Dampak Politik
Publik di media sosial menanggapi beragam. Sebagian menyambut baik keputusan MKD yang dinilai lebih rasional, namun tak sedikit yang menganggap langkah itu justru menunjukkan lemahnya integritas DPR.
“Bagi masyarakat, penonaktifan lima anggota DPR sudah dianggap hukuman. Ketika dua di antaranya kembali aktif, wajar bila muncul rasa kecewa,” kata Jamil.
Meski begitu, ada juga yang menilai keputusan MKD sudah tepat. “Kalau mereka memang tidak bersalah, mengapa harus terus disanksi? Keadilan harus didasarkan pada fakta, bukan tekanan massa,” tulis salah satu komentar warganet.
Kembali ke Parlemen, Saatnya Rehabilitasi Nama Baik
Dengan putusan ini, Uya Kuya dan Adies Kadir resmi lolos dari sanksi etik. MKD meminta agar keduanya segera diaktifkan kembali dalam tugas-tugas kedewanan.
Langkah ini menjadi momentum penting bagi keduanya untuk memulihkan reputasi di mata publik.
Uya Kuya sendiri mengaku siap kembali bekerja sebagai wakil rakyat. “Saya percaya kebenaran pada akhirnya akan terlihat. Sekarang waktunya fokus bekerja dan menebus kepercayaan masyarakat,” ujarnya singkat usai sidang.
Sementara Adies Kadir menyampaikan rasa syukur atas keputusan MKD. “Saya menghormati proses dan menghargai keputusan lembaga. Ini menjadi pelajaran agar kita semua lebih berhati-hati dalam berbicara di ruang publik,” katanya.
Penutup: Ujian Integritas Lembaga
Kasus ini menjadi contoh nyata betapa mudahnya opini publik dibentuk oleh potongan informasi di era digital. MKD kini memikul tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap keputusan etik benar-benar berdasar bukti dan bukan tekanan politik.
Apapun kontroversinya, keputusan bahwa Uya Kuya & Adies Kadir lolos sanksi etik dan diminta MKD untuk diaktifkan kembali telah menandai babak baru dinamika parlemen Indonesia — antara menjaga citra lembaga dan menegakkan keadilan bagi para anggotanya.

