
Polemik pemecatan Kompol Cosmas Kaju Gae memunculkan perdebatan besar di publik. Ribuan masyarakat menilai keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadapnya terlalu berat. Kasus ini juga menegaskan bahwa karir polisi tidak sebanding dengan nyawa, sebab satu nyawa rakyat yang hilang tidak bisa ditukar dengan panjangnya masa pengabdian seorang aparat.
Kompol Cosmas, seorang perwira Brimob asal Nusa Tenggara Timur, terjerat kasus kendaraan taktis (rantis) yang menewaskan seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21), di kawasan Pejompongan, Jakarta Utara. Peristiwa ini terjadi pada 28 Agustus 2025 saat aksi demonstrasi berlangsung.
Buntut dari kejadian tersebut, Kompol Cosmas harus menjalani sidang etik di Mabes Polri. Hasilnya, ia dijatuhi sanksi berat berupa PTDH. Putusan itu langsung memicu gelombang reaksi dari masyarakat, terutama dari kampung halamannya di Ngada, Flores.
Petisi 188 Ribu Orang Bela Kompol Cosmas

Pada 3 September 2025, seorang warga Ngada bernama Mercy Jasinta membuat petisi di Change.org berjudul “Petisi Penolakan Pemecatan Kompol Cosmas Kaju Gae.” Hingga 5 September 2025, petisi tersebut sudah mengumpulkan 188.655 tanda tangan.
Dalam isi petisi, para pendukung menilai PTDH tidak adil dan terlalu menghancurkan karier seorang polisi yang sudah puluhan tahun mengabdi.
Isi pokok petisi:
- Menolak pemecatan Kompol Cosmas dengan alasan sanksi terlalu berat.
- Menilai ada opsi hukuman lain yang lebih manusiawi dan proporsional.
- Mengingatkan bahwa Cosmas sudah berkontribusi besar dalam menjaga keamanan bangsa.
- Meminta Kapolri dan Komisi Kode Etik Polri meninjau ulang keputusan tersebut.
Mercy, sebagai pembuat petisi, menegaskan bahwa gerakan ini lahir dari rasa keprihatinan. Menurutnya, keputusan PTDH mengabaikan nilai keadilan, dan masyarakat kecil berhak menyuarakan pendapat mereka.
Karir Panjang Seorang Polisi Apakah sebanding dengan Nyawa Seseorang?

Kasus ini menghadirkan dilema etis yang berat. Di satu sisi, karir polisi tidak sebanding dengan nyawa. Kehilangan satu nyawa rakyat sipil dalam kondisi apapun tidak bisa dihapus hanya dengan prestasi masa lalu aparat. Nyawa manusia memiliki nilai yang jauh lebih tinggi daripada pangkat, jabatan, atau penghargaan.
Namun, di sisi lain, para pendukung Kompol Cosmas menilai bahwa sanksi PTDH berarti memutus habis perjuangan puluhan tahun yang ia jalani. Dalam pandangan mereka, masih ada opsi hukuman lain:
- Penurunan pangkat.
- Penempatan khusus dengan jangka waktu lebih lama.
- Rehabilitasi nama baik setelah menjalani hukuman.
Konflik pandangan inilah yang membuat publik terbelah.
Isi Lengkap Petisi: Permohonan Keadilan dari Ngada
Petisi yang ditujukan kepada Kapolri, Komisi Kode Etik Polri, DPR RI, dan masyarakat luas menekankan bahwa Kompol Cosmas bukan hanya seorang polisi, melainkan juga putra daerah yang mengharumkan nama Flores.
Dalam petisi, mereka menulis:
- Kompol Cosmas sejak muda telah mengabdikan diri untuk bangsa.
- Ia pernah berada di garis depan saat demonstrasi besar, bahkan menyelamatkan pejabat negara.
- Hukuman PTDH dianggap terlalu menghancurkan martabat seorang putra daerah.
- Mereka memohon agar ada sanksi yang lebih adil dan berimbang.
Tanggapan Kompol Cosmas
Setelah sidang, Kompol Cosmas menyampaikan rasa hormatnya pada proses hukum yang dijalani. Ia mengakui bahwa tindakannya adalah bagian dari perintah institusi untuk menjaga ketertiban umum.
Meski begitu, ia juga menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Affan Kurniawan. Pernyataannya menunjukkan sisi manusiawi seorang aparat yang dihadapkan pada dilema berat: menjalankan tugas di tengah situasi kacau, namun akhirnya menelan korban jiwa.
Perspektif: Karir Polisi Tidak Sebanding dengan Nyawa
Kasus ini membuka ruang refleksi bagi masyarakat luas. Pertanyaan mendasar pun muncul:
- Apakah pengabdian puluhan tahun seorang aparat bisa menghapus kesalahan fatal yang merenggut nyawa warga?
- Apakah keadilan harus berpihak pada institusi atau pada korban?
- Bagaimana memastikan sanksi tetap berimbang tanpa mengabaikan nilai kemanusiaan?
- Apakah hanya karir sebagai polisi saja yang bisa dicapai oleh Kompol Cosmas Kaju Gae?
Jawabannya kembali pada prinsip dasar: karir polisi tidak sebanding dengan nyawa. Nyawa rakyat adalah prioritas utama dalam negara hukum yang berlandaskan keadilan. Aparat, seberprestasi apapun, tidak bisa dikecualikan dari tanggung jawab ketika ada korban jiwa.
Suara Mercy Jasinta: Dari Prihatin Jadi Gerakan Publik
Mercy Jasinta, dosen Politeknik St. Wilhelmus Boawae, mengaku membuat petisi murni dari rasa kepedulian. Ia menilai keputusan PTDH tidak mencerminkan proporsionalitas hukum.
“Sebagai pendidik, saya merasa terpanggil untuk menyuarakan nilai keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan,” ucap Mercy.
Pernyataan ini memperlihatkan bahwa sosok Cosmas sangat dicintai oleh masyarakat NTT, dan juga bentuk ekspresi keprihatinan masyarakat kecil yang merasa tidak punya tempat dalam sistem hukum besar. Namun dibalik adanya petisi ini kita mengetahui bahwa Pemerintah kitalah yang telah melanggar asas dari PANCASILA yang telah mereka buat sendiri.
Penutup: Keadilan Harus Seimbang
Kasus Kompol Cosmas adalah cermin dari dilema besar di tubuh kepolisian dan masyarakat. Satu sisi menuntut ketegasan agar nyawa warga dihargai. Sisi lain menuntut keadilan proporsional bagi aparat yang sudah berpuluh tahun mengabdi.
Namun, apapun hasil akhirnya, satu hal tetap harus diingat: karir polisi tidak sebanding dengan nyawa.

