
Kornet.co.id – Gelombang protes kembali menggema di kawasan industri Sukoharjo. Ratusan eks-buruh dari perusahaan tekstil besar, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau SRITEX, turun ke jalan menuntut hak mereka yang belum juga dipenuhi. Aksi damai itu berlangsung dengan penuh emosi dan ketegangan, mencerminkan kekecewaan mendalam para mantan pekerja yang merasa dikhianati setelah bertahun-tahun mengabdi.
Dengan membawa spanduk bertuliskan tuntutan pesangon dan tunjangan hari raya (THR), para eks-buruh berbaris di depan gerbang pabrik. Mereka menyerukan keadilan dan meminta manajemen SRITEX segera menunaikan kewajiban yang tertunggak sejak pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan. Beberapa di antara mereka bahkan datang dari luar kota, semata-mata untuk memperjuangkan hak yang sudah lama dijanjikan.
Gelora Kekecewaan Para Eks-Buruh
Aksi tersebut berlangsung damai namun sarat emosi. Para buruh menyuarakan kekecewaan terhadap manajemen yang dianggap abai terhadap nasib mereka. “Kami bukan meminta belas kasihan, kami hanya menuntut hak kami sebagai pekerja yang sah,” ujar salah satu peserta aksi dengan nada tegas.
Banyak dari mereka telah bekerja lebih dari satu dekade, berkontribusi terhadap kejayaan SRITEX sebagai salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara. Namun, ketika badai ekonomi melanda dan perusahaan melakukan efisiensi, para pekerja itu justru menjadi korban. Pesangon tak dibayarkan, THR pun tertunda tanpa kepastian.
Raut wajah para buruh menggambarkan kelelahan dan kesedihan. Beberapa di antaranya membawa anak-anak kecil, simbol perjuangan keluarga yang kini terguncang karena kehilangan mata pencaharian. Mereka berdiri teguh di bawah terik matahari, menolak menyerah pada ketidakadilan.
Kronologi dan Akar Permasalahan
Dilansir dari Kompas.com Kisruh ini berawal dari kebijakan restrukturisasi SRITEX yang berdampak pada ribuan pekerja. Dalam proses PHK massal itu, perusahaan disebut menjanjikan pembayaran hak-hak pekerja sesuai ketentuan undang-undang ketenagakerjaan. Namun, seiring waktu, janji tersebut tak kunjung terealisasi.
Para eks-buruh mengaku telah berulang kali menempuh jalur dialog dan mediasi, baik melalui serikat pekerja maupun instansi terkait. Akan tetapi, hasilnya nihil. Beberapa perwakilan bahkan menyebutkan bahwa manajemen perusahaan cenderung menghindari komunikasi terbuka dengan mantan karyawan. “Kami sudah berkirim surat resmi, namun tidak ada respons yang memadai,” ungkap salah seorang koordinator aksi.
Kondisi ini memperkeruh hubungan antara perusahaan dan mantan pekerjanya. Sebagian buruh kini hidup dalam kondisi serba terbatas, mengandalkan pekerjaan serabutan untuk bertahan hidup. Ketidakpastian pembayaran hak membuat mereka terjerat utang, sementara harga kebutuhan pokok terus meningkat.
Reaksi dan Respons Pihak Terkait
Pemerintah daerah melalui Dinas Tenaga Kerja telah menerima laporan resmi dari perwakilan eks-buruh. Proses mediasi disebut akan kembali dilakukan untuk mencari titik temu antara kedua pihak. Namun, para buruh berharap proses ini tidak hanya menjadi formalitas belaka. Mereka menginginkan langkah nyata yang dapat mengembalikan hak mereka tanpa penundaan.
Di sisi lain, pihak manajemen SRITEX belum memberikan pernyataan resmi terkait aksi terbaru ini. Beberapa sumber internal perusahaan menyebut bahwa kondisi keuangan perusahaan masih dalam tahap pemulihan pasca-pandemi dan tekanan global di sektor tekstil. Meski demikian, hal itu tidak menyurutkan semangat para buruh untuk terus memperjuangkan keadilan.
Serikat pekerja juga menegaskan bahwa aksi ini akan berlanjut hingga ada kepastian hukum yang jelas. Mereka meminta perhatian pemerintah pusat untuk turun tangan langsung, agar penyelesaian tidak berlarut-larut dan nasib para mantan pekerja segera mendapatkan kejelasan.
Suara dari Jalanan
Sorak tuntutan “Bayar pesangon kami!” menggema di sepanjang jalan. Para eks-buruh membentangkan poster yang memuat pesan moral tentang keadilan sosial dan kemanusiaan. Meskipun aksi berjalan damai, ketegangan sempat terasa saat beberapa aparat meminta massa untuk membubarkan diri.
Namun, solidaritas di antara para buruh begitu kuat. Mereka saling menguatkan, menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar untuk uang, melainkan untuk harga diri sebagai pekerja yang pernah berjasa. “Kami ingin anak-anak kami tahu bahwa orang tuanya tidak diam ketika haknya dirampas,” ujar seorang mantan pekerja perempuan dengan suara bergetar.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Kasus seperti ini bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Permasalahan klasik antara pekerja dan perusahaan mengenai hak-hak pasca-PHK kerap berulang, menandakan lemahnya sistem perlindungan tenaga kerja. Para buruh berharap agar pengalaman pahit mereka menjadi pelajaran bagi perusahaan lain untuk lebih menghargai tenaga manusia yang menjadi tulang punggung industri.
Keadilan yang mereka tuntut bukan semata soal nominal, tetapi pengakuan atas dedikasi dan pengorbanan. Mereka percaya, tanpa buruh, roda produksi tidak akan berputar, dan ekonomi tidak akan berjalan. “Kami yang mengangkat kain, menjahit seragam, menghidupkan mesin — jangan anggap kami bisa disingkirkan begitu saja,” seru salah satu orator di tengah kerumunan.
Kesimpulan
Aksi ratusan eks-buruh SRITEX ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan struktural yang masih membayangi dunia kerja di Indonesia. Mereka mungkin tidak lagi mengenakan seragam pabrik, tetapi semangat perjuangan mereka belum pudar. Di tengah terik dan keringat, suara mereka menggema sebagai panggilan moral: agar hak pekerja dihormati, agar kemanusiaan tetap dijunjung tinggi.
Mereka bukan hanya menuntut pesangon dan THR. Mereka menuntut keadilan, martabat, dan penghormatan atas jerih payah yang telah mereka curahkan. Sebuah perjuangan panjang para buruh yang tak akan berhenti sampai kebenaran benar-benar ditegakkan.

