
kornet.co.id – Daya pikat keuntungan cepat dan kemudahan transaksi digital sayangnya telah membuka jalan bagi jebakan finansial yang menghancurkan yang dikenal sebagai “arisan bodong”. Belakangan ini, wilayah Malang Raya telah menjadi sorotan sebagai titik panas penipuan jenis ini, menyebabkan ratusan orang, yang didominasi oleh perempuan, mengalami kerugian finansial dengan total kerugian kolektif mencapai miliaran rupiah. Skema-skema ini, yang sering kali dioperasikan dengan selubung legitimasi dan hubungan personal, pada akhirnya terurai dan menyingkap penipuan terencana yang memangsa kepercayaan dan harapan akan perbaikan kondisi keuangan.
Korban dari skema arisan bodong di Malang datang dari berbagai kalangan. Mereka adalah para ibu muda, ibu rumah tangga, hingga kalangan profesional dan pemilik usaha. Tergoda oleh janji imbal hasil yang tinggi dalam waktu singkat—kadang mencapai keuntungan 50%—banyak yang melihatnya sebagai investasi menggiurkan atau cara untuk menambah penghasilan. Proses rekrutmen sering kali berjalan secara halus, dimulai dengan undangan ke grup media sosial tertutup, biasanya di platform seperti WhatsApp.
Di dalam grup-grup inilah para penyelenggara, atau yang biasa disebut “owner”, membangun rasa kebersamaan dan kepercayaan. Peserta awal sering kali menerima pembayaran yang dijanjikan, menciptakan ilusi sistem yang sah dan menguntungkan. “Kisah sukses” awal ini kemudian gencar dipromosikan di dalam grup, mendorong anggota yang ada untuk menambah investasi (“top up”) dan menarik peserta baru melalui promosi dari mulut ke mulut.
Dilansir metrotvnews.com, salah satu kasus paling menonjol yang terungkap di wilayah Malang melibatkan 350 korban dengan total kerugian yang dilaporkan mencapai sekitar Rp 6 miliar. Anggota skema arisan bodong ini berasal dari berbagai wilayah di Malang Raya dan bahkan dari kota-kota lain, menunjukkan jangkauan luas dari operasi online ini. Kesaksian dari para korban mengungkapkan pola yang sama: kesuksesan di awal yang diikuti oleh keruntuhan mendadak.
Banyak yang telah berpartisipasi selama berbulan-bulan, bahkan ada yang sejak skema ini dimulai sekitar tahun 2017, dan terus menginvestasikan kembali keuntungan mereka dengan harapan imbal hasil yang lebih besar. Kepercayaan yang mereka tanamkan pada penyelenggara hancur ketika pada akhir Juli 2025, pencairan dana yang dijanjikan tiba-tiba berhenti, dan sang owner menghilang, menonaktifkan akun mereka dan memutus semua jalur komunikasi.
Individu di balik penipuan skala besar ini sering kali bukanlah entitas tanpa wajah, melainkan orang-orang yang telah membangun citra kredibel di dalam komunitas online dan terkadang offline mereka. Dalam salah satu kasus besar yang dilaporkan di Malang, terduga pelakunya adalah dua orang kakak beradik asal Turen. Hubungan keluarga ini mungkin telah menambah lapisan kepercayaan pada operasi mereka.
Mereka dengan cermat mengelola grup arisan, memposting jadwal pembayaran dan “bukti” transaksi yang berhasil untuk menjaga kepercayaan di antara anggota. Skema yang mereka gunakan sering disebut “jual beli arisan”, sebuah model di mana seorang peserta dapat “membeli” slot arisan bodong yang akan segera cair dengan harga yang lebih rendah dari nilai total pencairan. Sebagai contoh, seorang anggota bisa membayar Rp 500.000 untuk kemudian menerima Rp 1.000.000. Model yang menjanjikan keuntungan cepat dan besar ini terbukti menjadi daya tarik yang tak tertahankan bagi banyak orang.
Modus operandi penipuan ini biasanya mengikuti struktur klasik Skema Ponzi. Uang dari peserta baru digunakan untuk membayar peserta yang lebih awal, menciptakan ilusi usaha yang menguntungkan. Namun, sistem ini pada dasarnya tidak berkelanjutan dan pasti akan runtuh ketika aliran masuk anggota baru melambat atau ketika penyelenggara memutuskan untuk melarikan diri dengan dana yang terkumpul. Pemicu keruntuhan sering kali adalah tanggal tertentu ketika sejumlah besar pembayaran jatuh tempo. Ketika tanggal ini tiba, penyelenggara, yang telah mengumpulkan modal dalam jumlah besar, menghilang, meninggalkan sebagian besar peserta tanpa apa-apa.
Fokus geografis dari kasus-kasus terbaru ini adalah Malang, dengan Kepolisian Resor (Polres) Malang dibanjiri laporan dari para korban yang putus asa. Para korban telah mengorganisir diri mereka, secara kolektif mengajukan pengaduan resmi dan memberikan bukti berupa slip transaksi, riwayat percakapan (chat), dan materi promosi dari grup online. Skala masalah ini sangat signifikan, dengan kelompok korban lain melaporkan kerugian hingga Rp 7 miliar. Pihak berwenang telah mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima laporan-laporan ini dan telah meluncurkan penyelidikan atas kasus tersebut. KBO Satreskrim Polres Malang telah meyakinkan publik bahwa mereka menangani masalah ini dengan serius dan akan mengejar para pelaku.
Beban finansial dan emosional pada para korban sangatlah besar. Banyak yang telah kehilangan tabungan hidup mereka, dana yang dialokasikan untuk pendidikan anak-anak, atau modal untuk usaha mereka. Jumlah kerugian per individu bervariasi, mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Rasa pengkhianatan begitu mendalam, karena banyak korban telah membangun hubungan pribadi dengan penyelenggara, menganggap mereka sebagai teman atau figur yang dipercaya. Buntut dari penipuan semacam ini adalah jalan yang panjang dan sulit bagi para korban, yang tidak hanya dihadapkan pada kemunduran finansial yang signifikan tetapi juga tekanan emosional karena telah ditipu.
Sebagai kesimpulan, maraknya arisan bodong di Malang menjadi pengingat yang keras akan risiko yang terkait dengan aktivitas keuangan online yang tidak diregulasi. Kombinasi rekayasa sosial yang canggih, janji imbal hasil yang tidak realistis, dan kemudahan platform digital menciptakan lahan subur bagi para penipu. Meskipun aparat penegak hukum sedang mengambil tindakan untuk membawa para pelaku ke pengadilan, insiden ini menyoroti kebutuhan kritis akan kesadaran publik dan literasi keuangan.
Hal ini menggarisbawahi kearifan lama: jika sebuah peluang investasi tampak terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, kemungkinan besar memang begitu. Masyarakat, baik online maupun offline, harus tetap waspada dan skeptis terhadap skema yang menjanjikan keuntungan luar biasa dengan sedikit atau tanpa risiko, untuk mencegah lebih banyak individu jatuh ke dalam perangkap finansial yang menghancurkan ini.

