
Kornet.co.id – Beberapa minggu terakhir, ruang digital Indonesia dipenuhi oleh istilah unik yang mencuat bak meteor di langit malam—rojali rohana. Istilah ini mendadak viral, digunakan warganet untuk menggambarkan fenomena sosial yang dekat, relevan, dan diam-diam menyentil realitas ekonomi masyarakat. Tak pelak, tren ini menciptakan pro-kontra dan menarik perhatian berbagai pihak, mulai dari netizen biasa hingga pejabat tinggi negara.
Apa sebenarnya makna di balik istilah ini? Apakah ia sekadar tren belanja dadakan, atau menjadi cerminan kegelisahan sosial-ekonomi yang lebih dalam?
Apa Itu Rojali dan Rohana?
Istilah rojali rohana berasal dari singkatan yang kreatif dan menggelitik:
Dua frasa ini menggambarkan kebiasaan sebagian masyarakat yang kerap mengunjungi pusat perbelanjaan, toko, atau bazar tanpa niat membeli barang. Mereka hanya berjalan-jalan, melihat-lihat produk, kadang bertanya harga, namun akhirnya pergi tanpa transaksi.
Di satu sisi, fenomena ini dianggap lucu dan relate, karena banyak orang—terutama dari kalangan menengah ke bawah—melakukannya untuk “healing”, menghibur diri di tengah tekanan hidup. Di sisi lain, ada yang menganggap ini sebagai sinyal bahwa daya beli masyarakat sedang menurun.
Dari Candaan Menjadi Diskursus Nasional

Viralnya rojali rohana tak berhenti di media sosial. Istilah ini merembes hingga ke meja rapat kabinet. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bahkan merasa perlu berkomentar. Ia menilai bahwa istilah tersebut dibuat-buat, dan bukan representasi nyata dari kondisi ekonomi masyarakat.
Namun, tanggapan itu justru menambah api perbincangan. Banyak masyarakat menganggap bahwa pejabat tidak cukup peka terhadap realitas yang terjadi di lapangan. Sebab bagi sebagian besar rakyat kecil, fenomena rojali rohana adalah bentuk nyata dari keterbatasan finansial: keinginan belanja yang tertahan oleh isi dompet yang kosong.
Tak hanya sekadar “jalan-jalan”, rojali rohana menjadi bentuk pelarian dari kenyataan ekonomi yang menghimpit. Mereka yang biasanya bisa membeli sepasang sepatu baru atau gadget murah kini hanya mampu menjadi penonton.
Fenomena Ekonomi di Balik Viralitas
Di Lansir Dari Tempo.co Dilihat dari sudut pandang ekonomi, rojali rohana bisa menjadi indikator non-formal dari lemahnya daya beli. Inflasi, kenaikan harga barang pokok, serta ketidakpastian ekonomi pascapandemi membuat sebagian masyarakat lebih memilih untuk menahan konsumsi.
Pusat perbelanjaan memang terlihat ramai, namun jumlah transaksi belum tentu selaras dengan keramaian tersebut. Banyak toko melaporkan penurunan omzet meski pengunjung meningkat. Artinya, banyak yang datang, tapi sedikit yang membeli.
Fenomena ini memperlihatkan adanya celah besar antara aktivitas ekonomi fisik (keramaian) dan konsumsi riil (transaksi). Dalam konteks ini, rojali rohana bukan sekadar istilah kocak, tapi semacam sinyal bahaya yang menggambarkan lemahnya purchasing power masyarakat.
Simbol Kelas Menengah yang Tertekan
Dulu, pergi ke mal identik dengan gaya hidup kelas menengah yang konsumtif. Namun kini, berkeliling toko dan hanya melihat-lihat justru menjadi simbol tekanan sosial-ekonomi. Orang-orang datang ke pusat perbelanjaan bukan lagi untuk membeli, tetapi untuk merasakan atmosfer seolah mereka “masih bisa”.
Rojali rohana menjadi bentuk psikologis dari keinginan yang tertahan. Keinginan tampil layaknya konsumen sejati, meski realitas keuangan berkata sebaliknya. Mereka ingin menjadi bagian dari arus gaya hidup modern, tapi kantong memaksa mereka hanya menjadi penonton.
Ini adalah potret kelas menengah yang sedang menurun (shrinking middle class)—fenomena global yang juga dialami Indonesia. Mereka bukan orang miskin, tapi juga bukan orang kaya. Terjebak di antara dua kutub, dengan beban ekonomi yang terus menekan.
Perspektif Sosial dan Budaya
Selain dari sisi ekonomi, rojali rohana juga menyentuh aspek budaya. Budaya belanja sebagai hiburan (shopping as leisure) telah lama berkembang di masyarakat urban. Jalan-jalan ke mal, meski tak membeli apa-apa, dianggap sebagai rekreasi yang murah meriah.
Tren ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat adaptif dalam menciptakan istilah-istilah baru yang khas dan mudah viral. Kata-kata seperti “rojali” dan “rohana” punya bunyi yang lucu, mudah diingat, dan kaya makna—ciri khas komunikasi digital ala Indonesia.
Namun lebih dari itu, istilah ini merefleksikan cara rakyat menertawakan penderitaan sendiri. Sebuah bentuk humor getir yang jadi pelampiasan kala tidak ada solusi nyata.
Respons Pemerintah dan Apa yang Bisa Dilakukan

Kontroversi mengenai komentar pejabat terhadap fenomena rojali rohana seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk melihat lebih dalam kondisi nyata masyarakat. Jangan sampai istilah yang lahir dari keresahan justru dikesampingkan atau dianggap remeh.
Sudah saatnya dibuat kebijakan yang benar-benar menyentuh langsung kebutuhan masyarakat: pengendalian harga, subsidi tepat sasaran, peningkatan lapangan kerja, dan dukungan terhadap UMKM. Karena hanya dengan perbaikan kondisi ekonomi nyata, maka istilah seperti rojali rohana akan hilang dengan sendirinya—bukan karena ditekan, tapi karena tak lagi relevan.
Menuju Kesadaran Kolektif
Fenomena ini juga menjadi cermin bagi masyarakat luas. Bahwa kita hidup dalam masa transisi yang penuh tantangan. Ketimpangan ekonomi, tekanan gaya hidup, dan ekspektasi sosial membentuk perilaku konsumsi yang tidak selalu sehat.
Daripada terus-menerus menyalahkan keadaan atau menertawakan diri sendiri, mungkin ini saatnya kita membangun kesadaran kolektif untuk lebih bijak dalam konsumsi, lebih kreatif dalam berdaya, dan lebih kritis terhadap arah pembangunan ekonomi bangsa.
Rojali rohana bukan sekadar lelucon internet. Ia adalah metafora dari kegelisahan sosial, potret keseharian yang nyaris tak terdengar, namun sesungguhnya menggema di hati banyak orang. Di tengah gempuran narasi optimisme ekonomi, istilah ini hadir sebagai pengingat: bahwa tak semua rakyat merasakan hal yang sama.
Ketika realitas dikemas dalam humor, itu artinya masalahnya sudah cukup lama dirasakan, hanya saja belum cukup didengar.
Jika Anda menemukan diri Anda atau orang sekitar berada dalam posisi rojali rohana, jangan merasa malu. Anda tidak sendiri. Mungkin inilah waktunya bukan hanya menunggu perubahan, tapi juga turut serta menciptakannya.

