.webp)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Sedih Lukisan Bunga Buatan Sendiri Dijarah oleh orang tak dikenal pada Minggu dini hari, 31 Agustus 2025. Dalam unggahan Instagramnya, ia bercerita bahwa seorang pria berjaket merah dan berhelm hitam tampak memanggul lukisan bunga cat minyak berukuran besar miliknya.
“Bagi penjarah, lukisan itu mungkin hanya bernilai uang. Tetapi bagi saya, lukisan ini adalah hasil kontemplasi diri, sangat pribadi,” tulis Sri Mulyani di akun @smindrawati, Rabu (3/9).
Lukisan tersebut dibuatnya 17 tahun lalu, penuh makna, dan menjadi simbol kenangan masa kecil anak-anaknya. Hilangnya lukisan itu membuatnya kehilangan lebih dari sekadar benda, melainkan juga rasa aman, kepastian hukum, dan rasa kemanusiaan.
Lebih dari Sekadar Kehilangan Barang

Sri Mulyani Sedih, ia juga menegaskan bahwa peristiwa ini tak hanya soal sebuah karya seni yang raib. Ia menilai ada hal yang jauh lebih dalam yang ikut sirna:
- Rasa aman di lingkungan tempat tinggal.
- Kepastian hukum yang seharusnya melindungi warga negara.
- Rasa perikemanusiaan, yang semakin lama terasa terkikis.
“Hilang hukum, hilang akal sehat, hilang peradaban, runtuh rasa perikemanusiaan,” tegasnya dengan nada penuh kecewa.
Mengenang Tragedi Akhir Agustus 2025

Dalam curhatnya, Sri Mulyani Sedih, ia juga menyinggung tragedi lain pada Minggu kelabu, 28 Agustus 2025. Ia menyebut korban jiwa jauh lebih berharga ketimbang lukisan pribadinya, salah satunya seorang driver ojek online bernama Affan Kurniawan (21) yang tewas dilindas kendaraan Brimob.
Selain Affan, ada pula nama-nama korban lain: Muhammad Akbar Basri, Sarinawati, Syaiful Akbar, Rheza Sendy Pratama, Rusdamdiansyah, dan Sumari.
“Dalam kerusuhan tidak ada pemenang. Yang ada hanyalah hilangnya akal sehat, runtuhnya harapan, dan robohnya fondasi berbangsa,” ungkapnya.
Lukisan Bunga, Simbol Budaya yang Diremehkan
Bagi sebagian orang, lukisan hanyalah hiasan dinding. Namun Sri Mulyani Sedih, bagi Sri Mulyani karya itu adalah “rumah dalam kanvas” yang merekam perjalanan spiritual dan intelektual.
Dari perspektif budaya, kehilangan lukisan ini menggambarkan bagaimana modal budaya (cultural capital) semakin tak dihargai. Seni dan kenangan seringkali direduksi menjadi sekadar angka rupiah.
Fakta lain memperkuat keresahan ini:
- Indonesia berada di peringkat ke-20 dunia dengan skor kriminalitas tinggi (6,85 pada 2024).
- Dari 430 museum di Indonesia, hanya 30% yang memiliki standar pengelolaan baik.
- Kasus pencurian artefak seni sudah berulang sejak 1960-an, termasuk hilangnya koleksi emas Museum Sonobudoyo.
Artinya, kasus yang menimpa Sri Mulyani hanyalah puncak gunung es dari masalah besar dalam pengelolaan warisan seni dan budaya.
Media, Masyarakat, dan Hilangnya Empati
Sri Mulyani Sedih, ia juga menyinggung peran media dan media sosial. Menurutnya, liputan penjarahan disebarkan secara sensasional, seolah menjadi hiburan yang memicu histeria massal.
Konsep ini mengingatkan pada teori Guy Debord tentang “society of the spectacle”, di mana tragedi berubah menjadi tontonan.
Dalam budaya Jawa, ada filosofi tepa slira – kemampuan menempatkan diri di posisi orang lain. Namun dalam peristiwa ini, nilai tersebut seakan lenyap. Para penjarah gagal memahami bahwa sebuah karya seni membawa kenangan, bukan hanya harga.
Dimensi Gender dan Ruang Pribadi

Sebagai seorang perempuan yang telah lama berkarya di dunia politik dan ekonomi, Sri Mulyani menghadapi tantangan ganda. Penjarahan rumahnya bukan sekadar perampasan harta benda, tetapi juga pelanggaran ruang privat seorang ibu.
Sri Mulyani Sedih, Lukisan bunga yang ia buat 17 tahun lalu melambangkan pertumbuhan, ketahanan, sekaligus keindahan. Kehilangannya menjadi metafora tentang bagaimana masyarakat memperlakukan keindahan: dengan kasar, tanpa penghargaan.
Solusi: Dari Karakter Bangsa Hingga Sistem Keamanan
Kehilangan Sri Mulyani membawa pelajaran penting. Untuk mencegah hal serupa, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh:
- Pendidikan karakter yang menekankan empati, etika, dan penghargaan terhadap seni.
- Revitalisasi nilai gotong royong, agar digunakan untuk membangun, bukan merusak.
- Penegakan hukum yang adil, dengan pendekatan restorative justice agar pelaku memahami dampak sosial tindakannya.
- Media bertanggung jawab, mengedukasi publik alih-alih sekadar mengejar sensasi.
- Peran komunitas lokal diperkuat melalui pengawasan sosial dan sistem peringatan dini.
- Sistem registrasi karya seni nasional, mirip Art Loss Register, agar barang curian sulit dipasarkan.
Sri Mulyani Sedih, Meski lukisannya lenyap, Sri Mulyani masih percaya ada hati nurani kolektif yang tersisa. Banyak masyarakat menunjukkan empati dan mengecam penjarahan tersebut.
Lukisan bunga yang hilang itu kini menjadi simbol: bahwa kemanusiaan tidak diukur dari seberapa banyak kita mengambil, melainkan dari seberapa tulus kita menjaga dan memberi.
“Setiap manusia pasti pernah salah, tapi kita masih bisa saling menghargai,” tutup Sri Mulyani.

