
Kornet.co.id – Kisah memilukan datang dari Aceh Singkil. Seorang perempuan yang baru saja meraih kebahagiaan setelah dinyatakan lulus seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), justru harus menerima kenyataan pahit. Sang Suami, yang selama ini menjadi teman perjuangan hidupnya, menjatuhkan talak tiga tak lama setelah kabar kelulusan itu diumumkan.
Tragedi rumah tangga ini menjadi sorotan publik. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin kesuksesan yang seharusnya menjadi kebanggaan bersama justru berujung pada perpisahan?
Cinta dan Perjuangan dari Awal
Sebelum mencapai titik itu, pasangan ini dikenal sebagai keluarga sederhana. Mereka hidup dengan penuh perjuangan. Sang istri membantu ekonomi keluarga dengan berjualan sayur keliling, sementara sang Suami bekerja serabutan. Bersama, mereka membangun rumah tangga dalam keterbatasan namun dipenuhi kasih sayang.
Tetapi hidup memang sering menghadirkan ujian tak terduga. Saat sang istri memutuskan untuk ikut seleksi P3K, dukungan datang dari banyak pihak—termasuk sang Suami. Ia bahkan turut membantu menyiapkan berkas dan menemani sang istri mengikuti tes. Semua tampak ideal, hingga takdir berkata lain.
Titik Balik: Kelulusan yang Menjadi Bumerang
Hari pengumuman kelulusan seharusnya menjadi momen bahagia. Sang istri berhasil mengukir prestasi, membuktikan bahwa kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia. Namun hanya berselang sehari, Suami tiba-tiba melontarkan kata-kata yang memutus seluruh ikatan suci pernikahan mereka: talak tiga.
Alasannya tak sepenuhnya jelas. Ada yang menyebut karena rasa cemburu, ada pula yang menduga karena ego tersinggung akibat perubahan peran ekonomi. Sang istri yang sebelumnya bergantung kini menjadi lebih mandiri. Situasi ini, bagi sebagian pria, bisa menimbulkan tekanan psikologis tersendiri.
Momen itu pun menjadi luka yang dalam. Setelah bertahun-tahun berjuang bersama, kini sang istri harus melangkah sendirian. Ia pulang ke rumah orang tuanya, membawa dua anak yang masih kecil—dan sejuta tanya tentang arti kesetiaan.
Fenomena Sosial di Balik Peristiwa
Kisah seperti ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Ketika salah satu pasangan, terutama perempuan, mengalami peningkatan status sosial atau ekonomi, hubungan rumah tangga kerap diuji. Ego, rasa tidak aman, hingga ketakutan akan kehilangan peran dominan, sering kali menjadi pemicu konflik.
Dalam banyak kasus, Suami merasa harga dirinya terusik ketika istri menjadi lebih sukses. Padahal, keberhasilan pasangan seharusnya menjadi kemenangan bersama. Masyarakat patriarkal sering kali menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus selalu menjadi penopang utama keluarga. Saat posisi itu tergeser, muncul rasa kehilangan kontrol yang kemudian melahirkan tindakan impulsif.
Namun di sisi lain, kisah ini juga menunjukkan keteguhan hati seorang perempuan. Di tengah keterpurukan, sang istri tetap berusaha tegar. Ia memilih fokus pada anak-anaknya dan pada pekerjaan yang baru akan dimulainya.
Ketika Harga Diri Mengalahkan Cinta
Dilansir dari bumisultra.com Pakar psikologi keluarga menilai, keputusan menceraikan pasangan di momen seperti ini mencerminkan adanya masalah ego yang belum terselesaikan. Ketika cinta dibalut gengsi, yang tersisa hanyalah kehampaan. Dalam konteks ini, Suami bukan hanya kehilangan pasangan hidup, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk menjadi bagian dari perjalanan kesuksesan orang yang pernah ia cintai.
Ada pula dimensi sosial yang perlu diperhatikan. Dalam masyarakat kecil seperti di Aceh Singkil, perceraian publik seperti ini menjadi perbincangan hangat. Warga mengenal pasangan ini sebagai sosok yang rukun dan pekerja keras. Tak heran bila banyak yang terkejut, bahkan kecewa, dengan keputusan sang Suami.
Pelajaran dari Sebuah Keputusan
Kisah ini menjadi cermin bagi banyak pasangan. Bahwa dalam pernikahan, komitmen bukan hanya tentang cinta di masa sulit, tapi juga kesiapan menerima perubahan di masa senang. Tidak semua orang mampu menghadapi transformasi peran. Ada yang merasa terancam, ada pula yang justru bangga melihat pasangannya berkembang.
Satu hal yang pasti, keberhasilan satu pihak seharusnya tidak menjadi alasan perpecahan. Justru sebaliknya, menjadi penguat dalam membangun kehidupan bersama. Sebab rumah tangga sejatinya adalah kerja sama dua arah—bukan perlombaan antara siapa yang lebih tinggi atau lebih berkuasa.
Penutup: Keteguhan di Tengah Luka
Kini, sang istri tengah memulai babak baru dalam hidupnya. Ia menjalani tugas sebagai pegawai P3K sambil merawat anak-anaknya dengan penuh kasih. Sementara itu, masyarakat sekitar hanya bisa berharap agar sang Suami menyadari makna keputusan yang telah diambilnya.
Peristiwa ini mungkin menyakitkan, namun juga membuka mata banyak orang bahwa cinta tanpa rasa saling menghargai tak akan bertahan lama. Bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang siapa yang berhasil, tetapi tentang siapa yang mau bertahan menghadapi perubahan.
Kisah ini bukan sekadar drama rumah tangga. Ia adalah potret kehidupan nyata—tentang perjuangan, harga diri, dan cinta yang tak selalu sejalan dengan logika. Dan di antara semua itu, satu hal yang pasti: kehidupan terus berjalan, meski hati sempat terhenti.

