
kornet.co.id – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-80, jagat maya dihebohkan oleh kemunculan sebuah simbol ikonik yang tak lazim dikibarkan di halaman rumah warga: bendera bajak laut One Piece, atau yang dikenal dengan sebutan Jolly Roger. Bendera dengan gambar tengkorak dan dua tulang bersilang ini mendadak mencuri perhatian publik ketika beberapa warganet membagikan momen pengibaran tersebut di media sosial. Dalam waktu singkat, polemik ini berkembang menjadi diskursus nasional—antara ekspresi budaya pop dan penghormatan terhadap simbol negara.
Simbol Bajak Laut di Tengah Perayaan Kemerdekaan
Bendera Jolly Roger bukanlah simbol sembarangan. Dalam semesta One Piece, bendera ini melambangkan kebebasan, petualangan, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang korup. Namun ketika bendera tersebut dikibarkan bersamaan atau bahkan lebih tinggi daripada bendera Merah Putih, banyak pihak merasa hal itu melewati batas norma dan etika. Masyarakat mempertanyakan, apakah ini bentuk kreativitas anak muda, atau justru bentuk kelalaian dalam memahami makna sakral kemerdekaan?
Baca Juga :Rekening Tiba-Tiba Diblokir? Tenang Dulu!
Beberapa warga yang memasang bendera One Piece menyatakan bahwa mereka hanya ingin memeriahkan Hari Kemerdekaan dengan cara yang unik. Mereka merasa simbol bajak laut bisa menjadi representasi semangat berani dan pantang menyerah, nilai-nilai yang juga sejalan dengan perjuangan para pahlawan Indonesia. Namun tak sedikit pula yang menilai aksi ini sebagai penghinaan terhadap lambang negara.
Reaksi Publik dan Aparat
Pihak pemerintah daerah dan aparat keamanan di beberapa wilayah segera menanggapi fenomena ini. Sejumlah warga diminta menurunkan bendera Jolly Roger dari tiang rumahnya, terutama jika dipasang sejajar dengan bendera Merah Putih. Beberapa kepala desa bahkan mengeluarkan imbauan resmi agar masyarakat hanya mengibarkan bendera yang sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Di lansir Dari detik.com UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara secara jelas mengatur tentang tata cara pengibaran bendera negara. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut bisa dikenai sanksi administratif hingga pidana. Dalam konteks ini, bendera bajak laut dari One Piece dianggap tidak pantas disandingkan dengan bendera Indonesia pada momen yang bersifat kenegaraan.
Namun tidak semua reaksi bernada keras. Beberapa akademisi dan pengamat budaya memandang fenomena ini sebagai cerminan perubahan cara generasi muda mengekspresikan nasionalisme mereka. Di era digital, simbol-simbol budaya pop seperti One Piece telah menjadi bagian dari identitas anak muda Indonesia.
Nasionalisme Gaya Baru?
Fenomena ini mengungkap jurang persepsi antara generasi tua dan muda. Bagi banyak remaja dan milenial, semangat One Piece—yang mengusung nilai keberanian, kesetiaan, dan kebebasan—tidak bertentangan dengan nasionalisme. Justru, mereka merasa karakter-karakter dalam anime tersebut mampu menginspirasi untuk terus berjuang dan tidak menyerah pada keadaan.
Luffy, sang tokoh utama, dikenal karena komitmennya terhadap impian dan solidaritas terhadap kru kapal Thousand Sunny. Nilai-nilai ini, dalam perspektif penggemarnya, sangat relevan dengan perjuangan kolektif yang pernah dilakukan para pendiri bangsa Indonesia. Maka tidak heran jika bendera Jolly Roger dianggap sebagai bentuk simbolis dari aspirasi generasi baru.
Namun tentu saja, perdebatan ini menuntut kebijaksanaan. Menggabungkan semangat nasionalisme dengan kecintaan terhadap budaya pop harus dilakukan dengan tetap menghormati simbol negara. Tanpa batas yang jelas, ekspresi bisa berubah menjadi pelanggaran.
Di Antara Kebebasan dan Ketertiban

Pertanyaan besar yang muncul dari polemik ini adalah: di mana batas antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap lambang negara? Indonesia, sebagai negara demokratis, memberikan ruang cukup luas bagi warganya untuk mengekspresikan diri. Namun kebebasan tersebut dibingkai oleh aturan, khususnya ketika menyangkut simbol-simbol nasional yang memiliki muatan historis dan kultural yang kuat.
Mengibarkan bendera Jolly Roger di momen HUT RI bisa saja dimaknai sebagai bentuk kreativitas. Tapi ketika bendera itu menggeser atau bahkan menggantikan posisi bendera Merah Putih, maknanya menjadi berubah. Itu bukan lagi perayaan, melainkan bisa dianggap sebagai bentuk penistaan atau ketidakpedulian terhadap nilai luhur kemerdekaan Indonesia.
Keseimbangan antara inovasi dan tata krama kebangsaan inilah yang harus terus dijaga, terutama dalam konteks generasi digital yang hidup di antara dua dunia: realitas nasional dan referensi global.
Refleksi Sosial dari Dunia Fiksi

Fenomena ini juga menandakan betapa kuatnya pengaruh fiksi dalam membentuk budaya populer. One Piece, sebagai salah satu manga dan anime paling terkenal di dunia, memiliki basis penggemar besar di Indonesia. Dalam banyak kasus, karakter dan simbol dari anime ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga representasi nilai dan filosofi hidup.
Namun penting disadari, simbol-simbol fiksi tidak bisa disamakan begitu saja dengan simbol negara. Bendera Merah Putih bukan sekadar kain dua warna—ia adalah perwujudan dari darah dan perjuangan jutaan jiwa yang gugur demi kemerdekaan. Memasangkan bendera bajak laut di tiang yang sama, tanpa pemahaman konteks sejarah, bisa membuat makna itu tereduksi secara signifikan.
Penutup
Kontroversi bendera One Piece di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia menjadi cermin dari ketegangan antara tradisi dan modernitas, antara nasionalisme konvensional dan ekspresi kontemporer. Generasi muda ingin merayakan kemerdekaan dengan cara yang lebih dekat dengan dunianya—tetapi di sisi lain, bangsa ini tetap membutuhkan tatanan simbolik yang terjaga.
Mungkin solusinya bukan melarang secara membabi buta, tapi mengedukasi. Memberikan ruang dialog lintas generasi tentang makna kemerdekaan, penghormatan terhadap simbol negara, dan bagaimana budaya pop bisa berperan positif dalam membentuk identitas kebangsaan. Karena pada akhirnya, Merah Putih adalah milik bersama—yang semestinya selalu berkibar dengan penuh hormat, di hati setiap anak bangsa.

