
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memproyeksikan bahwa kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Pemerintah Amerika Serikat—sebesar 19% untuk produk ekspor asal Indonesia—akan memicu penurunan ekspor ke AS hingga US$9,23 miliar. Sektor paling rentan antara lain pakaian jadi (t-shirt, jaket) dengan potensi rugi hingga US$2,1 miliar, disusul barang manufaktur lain seperti aksesori dan mainan (US$1,5 miliar), produk kulit (sepatu & tas) sebesar US$1,3 miliar, serta peralatan elektronik dan komputer yang masing-masing berisiko kehilangan US$1,2 miliar dan US$0,8 miliar. Produk karet dan plastik juga menghadapi ancaman penurunan senilai US$0,7 miliar.
“Produk seperti t-shirt dan jaket buatan Indonesia terancam kalah bersaing dari negara lain,” ungkap laporan terbaru dari CORE Indonesia yang diterima, Senin, 11 Agustus 2025.
Sektor barang manufaktur lainnya juga disebut akan ikut terdampak, dengan potensi penurunan sebesar USD1,5 miliar. Produk-produk rumah tangga, aksesori, dan mainan yang selama ini diekspor ke AS dinilai bisa kehilangan daya saing karena harga jual naik.
Selanjutnya produk kulit, termasuk sepatu dan tas, diproyeksikan turun USD1,3 miliar, menyusul tarif tinggi yang menekan margin produsen. Sementara itu, produk karet dan plastik, seperti ban dan kemasan, juga menghadapi risiko penurunan sebesar USD0,7 miliar.
Industri peralatan elektronik dan komputer juga masing-masing terancam kehilangan USD1,2 miliar dan USD0,8 miliar. “Padahal, sektor ini merupakan bagian penting dari ekspor berbasis teknologi Indonesia,” paparnya.
Secara agregat, ekspor Indonesia ke pasar global diprediksi turun 2,65%, angka ini lebih dalam dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (–1,18%), Filipina (–1,69%), dan Thailand (–0,49%). Malahan, Vietnam masih mencatat pertumbuhan positif sebesar 0,20%. Penurunan ini turut berdampak pada surplus dagang, yang bisa menyusut hingga US$4,41 miliar.
Respons dan Strategi Pemerintah

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan bahwa negosiasi dengan Trump terkait tarif Ekspor masih berlangsung. Mereka berharap agar tarif untuk beberapa komoditas yang tidak diproduksi oleh AS dapat diturunkan menjadi nol, dengan target penyelesaian negosiasi sebelum 1 September 2025. Selain itu, Kemendag menargetkan pertumbuhan ekspor nasional sebesar 7,10% dengan target nominal mencapai US$294,45 miliar pada tahun 2025.
Strategi lain yang digodok antara lain memperkuat diversifikasi. Fokusnya sekarang beralih sementara ke pasar non-AS dan Eropa, serta memperkuat pangsa ekspor di China—negara tujuan ekspor utama dengan nilai sekitar US$29,31 miliar pada semester I/2025.
Ekspor Indonesia ke pasar global turun
CORE menyebut secara keseluruhan, implementasi tarif resiprokal akan menurunkan ekspor Indonesia ke pasar global sebesar 2,65 persen. Penurunan ekspor Indonesia ini lebih dalam dibandingkan dengan negara-negara lain.
Dikutip dari metrotvnews.com “Sebagai perbandingan, Malaysia turun 1,18 persen, Filipina turun 1,69 persen, Thailand turun 0,49 persen, bahkan Vietnam masih mencatatkan pertumbuhan sekitar 0,20 persen. Penurunan ini turut berdampak pada surplus perdagangan Indonesia, yang berpotensi menyusut hingga USD4,41 miliar,” jelas nya.
Untuk itu, CORE menilai pemerintah perlu menyiapkan program bantuan terfokus untuk ekspor manufaktur yang paling rentan. Langkah praktis meliputi perluasan akses kredit lunak melalui bank BUMN, mempercepat program diversifikasi pasar melalui trade mission yang lebih intensif, dan memperluas program hibah untuk adopsi teknologi.
“Selain itu, sistem pengawasan sederhana perlu dibentuk dengan memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada di BPS, Kemendag, dan Bea Cukai. Indikator utama yang dipantau meliputi volume ekspor ke AS per sektor, tingkat utilisasi kapasitas industri, dan volume impor dari negara yang melakukan trade diversion,” tutup dia.
Baca Juga: Trump Kirim Kapal Selam Nuklir ke Perbatasan Rusia, Tanggapi Provokasi Medvedev
Tantangan Struktural dan Suara Ekonom

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyampaikan kekhawatiran terkait penyusutan surplus dagang Indonesia dengan AS pasca pemberlakuan tarif. Meski masih bisa bertahan dalam jangka pendek, terutama karena impor migas, pesawat, dan pangan dari AS masih terjadi, tetapi situasinya diprediksi terus memburuk seiring penurunan kas perdagangan bilateral.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memperkirakan bahwa meski pertumbuhan ekspor akan sedikit tertekan akibat kenaikan harga, tarif 19% masih relatif kompetitif, lebih rendah daripada yang dikenakan kepada China atau India, dan masih sejajar dengan Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Namun, efektivitas kebijakan ini akan tergantung pada upaya pemerintah dalam menurunkan tarif untuk produk kita serta memperkuat diferensiasi produk.
Lebih jauh, Indef memperkirakan bahwa tarif Trump bisa menurunkan ekspor dan impor Indonesia masing-masing sebesar 2,83% dan 2,22%, dampak yang tidak bisa diabaikan meskipun secara keseluruhan masih manageable.
Bahaya Disrupsi Global dan Proteksionisme
Kebijakan tarif resiprokal AS merupakan bagian dari tren proteksionisme global yang makin keras. Dalam dokumen KEM-PPKF 2026, pemerintah memperingatkan bahwa pemberlakuan tarif tadi mencerminkan fragmentasi tatanan ekonomi global dan menimbulkan risiko stagflasi. Dampaknya antara lain terganggunya rantai pasok, meningkatnya ketidakpastian pasar, serta tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi domestik.
Rangkuman dan Rekomendasi Strategis
Berikut ringkasan situasi dan rekomendasi langkah mitigasi:
| Poin | Detail |
|---|---|
| Proyeksi Penurunan Ekspor ke AS | US$9,23 miliar, golongan pakaian, elektronik, dan lainnya paling terdampak |
| Indikator Global | Ekspor nasional turun 2,65%, surplus dagang menyusut US$4,41 miliar |
| Respons Pemerintah | Negosiasi aktif, diversifikasi pasar, target meningkat |
| Tantangan Lokal | Surplus bilateral mungkin menyusut, namun masih ada peluang di non-AS |
| Rekomendasi Mitigasi | Lobi tarif rendah, akses kredit eksportir, hilirisasi, daya saing produk, perlindungan pasar domestik |
Prediksi penurunan ekspor US$9,23 miliar bukan hanya angka, melainkan alarm penting bagi industri manufaktur dan pembuat kebijakan nasional. Tarif resiprokal memang menekan, tetapi jika direspons dengan strategi perdagangan adaptif seperti negosiasi tarif, diversifikasi pasar, dan penguatan struktur industri Indonesia masih bisa menjaga pertumbuhan ekonomi.

