
Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza semakin parah dan menimbulkan keprihatinan global. Menanggapi kondisi tersebut, Uni Eropa siapkan sanksi baru untuk Israel atas krisis Gaza, termasuk wacana pembatasan perdagangan dan larangan perjalanan bagi sejumlah pejabat sayap kanan Israel.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menegaskan bahwa langkah ini bukan dimaksudkan untuk menghukum Israel, melainkan sebagai upaya memperbaiki Krisis Gaza dan situasi kemanusiaan di Gaza.
“Perang perlu diakhiri. Penderitaan harus dihentikan, dan semua sandera harus dibebaskan,” kata Kallas.
Namun, dari 27 negara anggota Uni Eropa, belum ada kepastian mayoritas suara yang akan mendukung usulan tersebut. Blok ini sebelumnya memang sering dikritik karena dianggap gagal memberikan tekanan nyata kepada Israel untuk menghentikan perang.
Reaksi Negara Anggota dan Kebijakan Uni Eropa
Dilansir dari cnnindonesia.com, Beberapa negara anggota Uni Eropa, termasuk Jerman, mengaku sudah mengetahui adanya proposal tersebut. Meski begitu, Berlin menyatakan belum menentukan sikap akhir terkait langkah yang diusulkan.
Sementara itu, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, pernah menyampaikan bahwa Uni Eropa kemungkinan akan menghentikan bantuan dana bagi Israel. Pihak eksekutif UE kini juga sedang meninjau opsi langkah lanjutan.
Sebaliknya, pihak Israel menilai rencana itu berlebihan. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, menyebut kemungkinan penangguhan manfaat perdagangan dari Uni Eropa sebagai langkah yang “tidak proporsional” dan “belum pernah terjadi sebelumnya.”
Militer Israel Perluas Operasi di Negara Palestina
Sementara diskusi diplomatik berlangsung di Eropa, situasi di Gaza kian memburuk. Netanyahu mengklaim telah melancarkan lebih dari 150 serangan udara dan artileri ke wilayah Gaza. Pasukan darat dan tank pun semakin bergerak ke pusat Kota Gaza.
Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, jumlah korban jiwa sudah melampaui 65.000 orang. Selain itu, serangan juga memutus akses telekomunikasi dan internet, sehingga warga kesulitan menghubungi ambulans untuk menolong korban.
Israel sempat membuka jalur evakuasi sementara di bagian selatan Kota Gaza selama dua hari, agar warga dapat mengungsi. Namun, situasi tetap dipenuhi ketidakpastian dan ancaman serangan.
Gelombang Pengungsian dan Trauma Warga
Data terbaru menunjukkan, sejak pengumuman operasi militer yang diumumkan Netanyahu pada 10 Agustus 2025, sekitar 400.000 warga Gaza telah melarikan diri. Sebagian besar menuju wilayah selatan, sementara lainnya berpindah ke area tengah dan barat kota. Meski begitu, diperkirakan masih ada sekitar 100.000 warga sipil yang tetap bertahan di Gaza.
Perwakilan UNICEF di Gaza, Tess Ingram, menggambarkan penderitaan yang dialami warga sangat berat.
“Anak-anak berjalan berjam-jam di atas puing-puing dengan kaki berdarah, menuju ketidakpastian. Keluarga-keluarga trauma dan kelelahan.”
Ia juga menegaskan bahwa zona kemanusiaan Al Mawasi tidak bisa dianggap aman, karena minim pasokan kebutuhan dasar dan bahkan telah menjadi target serangan. UNICEF menuntut agar semua jalur penyeberangan ke Gaza segera dibuka, sehingga bantuan kemanusiaan dapat masuk dengan cepat.
Laporan PBB: Dugaan Genosida oleh Israel
Krisis ini semakin memicu perhatian dunia internasional setelah Komisi Penyelidikan Independen PBB menyatakan bahwa Israel diduga telah melakukan genosida sejak 2023.
Menurut laporan tersebut, empat dari lima kriteria genosida dalam Konvensi Genosida PBB 1948 sudah terpenuhi di Gaza. Beberapa tokoh Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Presiden Isaac Herzog, serta mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perencanaan tindakan tersebut.
Kesimpulan ini sejalan dengan pandangan sejumlah akademisi terkemuka, asosiasi studi genosida internasional, serta organisasi hak asasi manusia global.
Tekanan Internasional terhadap Israel Kian Menguat
Dengan adanya laporan PBB, desakan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Presiden Isaac Herzog, serta mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant untuk menghentikan operasi militer semakin keras. Uni Eropa siapkan sanksi baru untuk Israel atas krisis Gaza menjadi salah satu bentuk nyata dari tekanan diplomatik yang kian meningkat.
Walau masih ada perbedaan pendapat di antara negara anggota, wacana sanksi ini menandai langkah maju Uni Eropa dalam merespons tragedi kemanusiaan di Palesitna.
Kesimpulan: Dunia Menanti Keputusan Tegas
Situasi di Gaza menunjukkan betapa gentingnya kondisi kemanusiaan di wilayah tersebut. Uni Eropa kini berada pada titik penting: apakah benar-benar akan melangkah dengan sanksi baru terhadap Israel, atau kembali berhenti pada sekadar wacana politik.
Yang jelas, penderitaan warga Palestina terus berlanjut, dan dunia internasional menunggu aksi nyata. Tekanan diplomatik, laporan PBB, hingga suara organisasi kemanusiaan semakin memperlihatkan bahwa perang ini tidak bisa dibiarkan tanpa solusi.

