.jpg?updatedAt=1759744553575&ik-s=3e232c95b3dd16382e0150e73fdfa08d7765c3f3)
Kornet.co.id – Sebuah kisah memilukan datang dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Di tengah perjuangan rakyat kecil mempertahankan haknya, muncul kabar tentang seorang nenek berusia 62 tahun yang justru ditetapkan sebagai tersangka. Ia bukan pelaku kejahatan besar, bukan pula sosok yang menebar ancaman bagi siapa pun. Ia hanya seorang warga sederhana yang berusaha menjaga tanah milik keluarganya dari dugaan penyerobotan oleh pihak tak bertanggung jawab.
Kasus ini terjadi di Kenagarian Harau, Kecamatan Harau — kawasan yang selama ini dikenal dengan keindahan alamnya, bukan hiruk-pikuk konflik hukum. Namun di balik keheningan lembah dan perbukitan, kisah getir nenek itu mencuat dan mengguncang rasa keadilan publik.
Dituduh Melakukan Penganiayaan
Peristiwa ini bermula ketika nenek tersebut mencoba mempertahankan tanah keluarga yang diklaim telah diserobot oleh pihak lain. Dalam upaya membela haknya, terjadi adu argumen dan dorong-mendorong di lokasi. Tak lama berselang, pihak yang merasa dirugikan melapor ke kepolisian dengan tuduhan penganiayaan. Ironisnya, justru sang nenek yang ditetapkan sebagai tersangka.
Banyak pihak menilai penetapan status tersangka terhadap nenek 62 tahun ini terlalu berlebihan. Tubuhnya yang renta dan langkahnya yang pelan, seolah tak masuk akal bila dikaitkan dengan tuduhan penganiayaan serius. Namun hukum berbicara lain. Dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial, nenek itu tampak dikawal oleh aparat bersenjata lengkap, seolah seorang penjahat kelas kakap. Publik pun terhenyak — apakah hukum kini sudah kehilangan sisi kemanusiaannya?
Viral dan Memicu Kemarahan Publik
Video penangkapan nenek ini sontak viral di berbagai platform. Warga dunia maya menumpahkan amarah dan rasa iba. Banyak yang menganggap perlakuan aparat terlalu represif, terutama mengingat kondisi fisik nenek yang lemah. Beberapa netizen bahkan menuliskan komentar pedas:
“Apakah sudah tak ada lagi ruang empati bagi rakyat kecil?”
Narasi tentang ketidakadilan hukum terhadap warga kecil kembali menjadi perbincangan hangat. Dalam banyak kasus, masyarakat kerap menyaksikan bagaimana hukum tampak tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Kisah nenek ini menjadi cermin baru dari fenomena lama — ketika kekuasaan dan kepentingan sering kali menekan suara lemah yang mencoba bertahan.
Dugaan Keterlibatan Mafia Tanah
Kasus ini tak berhenti pada tuduhan penganiayaan semata. Beberapa pihak menduga bahwa konflik ini terkait dengan praktik mafia tanah yang kerap menjerat masyarakat di berbagai daerah. Tanah yang seharusnya menjadi warisan turun-temurun keluarga, bisa tiba-tiba berpindah tangan karena permainan administrasi, manipulasi dokumen, atau tekanan dari pihak berpengaruh.
Dalam konteks ini, nenek 62 tahun tersebut bukan hanya mempertahankan sepetak tanah, melainkan mempertahankan harga diri, warisan leluhur, dan tempat berpijak generasi penerusnya. Keberaniannya melawan, meski dalam posisi lemah, justru memperlihatkan sisi heroik dari perjuangan rakyat kecil. Ia mungkin tidak paham pasal demi pasal hukum agraria, tapi ia tahu satu hal — tanah itu milik keluarganya, dan ia tak akan membiarkan siapa pun mengambilnya.
Reaksi dan Seruan Keadilan
Kasus ini telah menarik perhatian banyak aktivis hukum dan pemerhati keadilan sosial. Mereka menyerukan agar aparat meninjau ulang penetapan status tersangka terhadap sang nenek. Beberapa pengamat menilai ada kejanggalan dalam proses hukum yang dijalankan, terutama karena terlihat tidak proporsional dalam penerapan tindakan terhadap seorang warga lanjut usia.
Di sisi lain, masyarakat berharap agar lembaga penegak hukum tidak hanya melihat kasus ini dari sisi formalitas hukum semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek moral dan kemanusiaan. Tidak ada yang menolak penegakan hukum, namun harus ada keseimbangan antara keadilan dan empati.
“Jika hukum kehilangan rasa kemanusiaan, maka yang tertinggal hanyalah kekuasaan,” ujar seorang aktivis yang ikut mengawal kasus ini.
Potret Ketimpangan Sosial
Kisah nenek di Harau ini menjadi potret nyata bagaimana rakyat kecil kerap menjadi korban dalam sengkarut sistem hukum yang tidak berpihak. Mereka yang memiliki keterbatasan finansial dan pendidikan hukum sering kali tak memiliki daya tawar untuk melawan pihak kuat. Dalam banyak kasus serupa, rakyat kecil harus berjuang sendirian menghadapi kekuatan modal, jaringan, dan kekuasaan.
Lebih menyedihkan lagi, tindakan aparat yang seharusnya melindungi justru kerap menjadi momok menakutkan bagi masyarakat lemah. Perlakuan terhadap nenek ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tapi juga tamparan terhadap rasa kemanusiaan bangsa.
Suara dari Hati Rakyat
Bagi masyarakat sekitar, nenek itu bukan kriminal. Ia adalah sosok sederhana yang dikenal gigih, sabar, dan penuh kasih terhadap cucu-cucunya. Tanah yang ia pertahankan bukan sekadar lahan, melainkan simbol perjuangan keluarga. Setiap jengkalnya punya cerita, punya kenangan, dan punya nilai yang tak bisa digantikan oleh selembar sertifikat.
Warga berharap agar keadilan benar-benar ditegakkan. Mereka ingin melihat hukum bekerja dengan nurani, bukan hanya berdasarkan laporan dan dokumen. Karena dalam setiap kasus seperti ini, ada hati yang terluka, ada keluarga yang kehilangan rasa aman, dan ada generasi yang belajar bahwa memperjuangkan kebenaran bisa berujung petaka.
Harapan Terakhir
Kini publik menantikan langkah selanjutnya dari aparat penegak hukum. Apakah nenek ini akan terus diproses layaknya pelaku kriminal, ataukah negara akan menunjukkan sisi bijaknya dengan mengembalikan martabat seorang warga tua yang hanya ingin mempertahankan haknya?
Kisah ini seharusnya menjadi pengingat bahwa di balik setiap perkara, ada manusia yang punya rasa, punya harapan, dan punya hak untuk diperlakukan dengan hormat. Keadilan sejati tidak diukur dari siapa yang kuat atau lemah, tapi dari bagaimana hukum melindungi yang paling tak berdaya.
Dan dalam wajah nenek 62 tahun itu — kita melihat sosok yang mungkin lemah secara fisik, namun kuat dalam memperjuangkan kebenaran.

