
Kornet.co.id – Pagi itu, suasana Masjid Lebak Bulus begitu hening dan khusyuk. Udara sejuk masih menyelimuti kawasan sekitar, sementara suara adzan Subuh baru saja bergema, memanggil umat untuk menunaikan kewajiban. Tak ada yang menyangka bahwa hari itu akan menjadi saksi bisu dari momen paling menggetarkan hati di rumah Allah tersebut — saat seorang Pengurus Masjid menghembuskan napas terakhirnya dalam sujud.
Seperti biasa, pria paruh baya itu datang paling awal. Ia membuka gerbang masjid, menyalakan lampu, memastikan saf dalam keadaan rapi, dan mengatur pengeras suara agar lantunan adzan terdengar jernih. Selama bertahun-tahun, rutinitas itu ia jalani tanpa keluh. Ia bukan hanya penjaga, tapi jiwa yang hidup di antara dinding-dinding masjid, pengabdi yang tak dikenal banyak orang namun disayangi semua jamaah.
Ketika iqamah dikumandangkan, jamaah mulai berdiri membentuk barisan. Ia ikut berdiri di saf depan, mengenakan sarung lusuh dan baju koko sederhana. Wajahnya tenang, seperti biasa. Saat imam memimpin shalat, suasana masjid berubah menjadi lautan keheningan. Namun di antara barisan itu, ada satu tubuh yang tak kembali berdiri setelah sujud terakhir.
Keheningan yang Menyadarkan
Beberapa detik setelah salam diucapkan, jamaah menyadari ada sesuatu yang berbeda. Tubuh sang Pengurus Masjid masih bersujud, tak bergerak. Imam dan makmum lain menghampiri dengan hati berdebar. Saat disentuh, tubuh itu telah kaku namun tampak damai — bibirnya masih basah dengan dzikir, wajahnya bersinar lembut di bawah cahaya lampu masjid.
Tangis pun pecah. Seorang jamaah menutup wajahnya, yang lain berlutut sambil berdoa. Tak ada kata yang bisa menggambarkan keharuan momen itu. Ia berpulang di tempat yang paling dicintainya, dalam posisi paling mulia di hadapan Tuhan.
Kabar meninggalnya sang Pengurus Masjid menyebar cepat di antara warga sekitar. Pagi itu, telepon berdering, pesan singkat berdatangan, dan banyak yang datang ke masjid dengan langkah tergesa. Semua ingin menyaksikan sendiri ketenangan luar biasa yang menyelimuti wajahnya.
Sosok Sederhana yang Menginspirasi
Selama hidupnya, Pengurus Masjid ini dikenal rendah hati dan penuh dedikasi. Ia jarang bicara, namun tindakannya selalu berbicara banyak. Saat hujan turun deras, ia memastikan atap tidak bocor. Saat Ramadhan tiba, ia mengatur takjil dan menjaga kebersihan masjid hingga larut malam. Ia bekerja tanpa pamrih, seolah seluruh hidupnya didedikasikan untuk menjaga rumah Allah tetap hidup dan nyaman.
Orang-orang sering melihatnya tersenyum kepada anak-anak yang bermain di halaman masjid, menegur dengan lembut jika mereka terlalu berisik, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Tidak sedikit jamaah yang merasa kehilangan sosok ayah kedua ketika ia pergi.
Warga sekitar mengenang bagaimana setiap pagi, sebelum adzan pertama berkumandang, ia sudah hadir dengan sapu di tangan, membersihkan teras masjid sambil bersenandung lirih. Kini, tempat itu terasa kosong. Tidak ada lagi langkahnya yang terdengar. Tidak ada lagi suara kunci pintu dibuka perlahan.
Kepergian yang Mengajarkan Arti Ikhlas
Bagi banyak orang, meninggal dunia di dalam masjid adalah pertanda kemuliaan. Namun bagi mereka yang mengenal pria ini, momen itu lebih dari sekadar kebetulan — itu adalah takdir yang seolah dijanjikan. Hidupnya berawal dan berakhir di tempat yang sama: masjid yang ia rawat dengan cinta.
Imam Masjid Lebak Bulus sempat berkata, dengan suara bergetar, “Beliau bukan hanya Pengurus Masjid, tapi penjaga hati kami semua. Ia mengajarkan bagaimana beramal tanpa perlu dikenal, bagaimana berbuat baik tanpa menunggu balasan.”
Jenazahnya disalatkan di masjid yang menjadi saksi setiap langkah hidupnya. Ratusan jamaah hadir. Laki-laki, perempuan, tua, muda — semua datang dengan perasaan campur aduk. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan ketika peti jenazah diangkat keluar dari pintu yang dulu selalu ia buka setiap subuh.
Warisan Keteladanan
Dilansir dari : tribunnews.com Kisah ini meninggalkan jejak mendalam bagi siapa pun yang mendengarnya. Sosok Pengurus Masjid itu mengingatkan bahwa keikhlasan tak selalu perlu disuarakan, cukup dilakukan dengan sepenuh hati. Dalam kesunyian, ia mengajarkan arti pengabdian yang sejati — bekerja tanpa henti untuk sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.
Kini, Masjid Lebak Bulus tetap berdiri megah. Namun di setiap sudutnya, tersimpan kenangan akan tangan-tangan yang dulu membersihkan debu, menyalakan lampu, dan mengatur sajadah dengan penuh kasih.
Warga sepakat untuk menamai salah satu ruang kecil di sisi timur masjid dengan namanya, sebagai bentuk penghormatan. Setiap kali pintu itu dibuka, jamaah seakan diingatkan bahwa amal yang tulus tak pernah hilang. Ia tetap hidup dalam setiap doa, dalam setiap lantunan ayat, dan dalam setiap langkah jamaah yang datang beribadah.
Penutup
Detik haru di Masjid Lebak Bulus bukan hanya tentang kematian seseorang, melainkan tentang kehidupan yang dijalani dengan makna. Tentang seorang Pengurus Masjid yang mempersembahkan seluruh waktunya untuk ibadah dan pengabdian. Ia meninggalkan dunia dengan cara yang diimpikan banyak orang — dalam sujud, di rumah Allah, dengan hati yang tenang dan penuh cinta.
Kisahnya menjadi pengingat bagi semua: bahwa keindahan hidup tidak diukur dari panjangnya usia, tetapi dari seberapa tulus seseorang memberikan dirinya untuk kebaikan.

