
kornet.co.id – Skandal pangan kembali mengguncang dunia perdagangan nasional. Kali ini, kasus serius mencuat dari tubuh BUMD DKI Jakarta, PT Food Station Tjipinang Jaya. Direktur Utama perusahaan tersebut, dengan inisial AW, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus peredaran beras oplosan yang sempat menjadi sorotan publik dan media. Dugaan manipulasi bahan pangan pokok ini bukan sekadar kesalahan teknis—ia mencerminkan pelanggaran etik dan hukum yang berdampak luas bagi masyarakat.
Awal Mula Terbongkarnya Kasus
Investigasi kasus ini bermula dari laporan masyarakat mengenai kualitas beras yang dijual di beberapa titik distribusi. Keluhan terkait tekstur, aroma, dan rasa yang tidak sesuai standar membuat aparat curiga akan adanya praktik manipulatif di balik pengadaan beras. Dari laporan tersebut, Satuan Tugas Pangan Polri dan Badan Pangan Nasional turun tangan dan melakukan audit mendalam terhadap beberapa distributor dan gudang penyimpanan.
Dalam penelusuran tersebut, ditemukan fakta mengejutkan: beras premium yang seharusnya berasal dari gabah berkualitas tinggi ternyata merupakan hasil campuran dari beras medium dan broken rice (beras pecah) yang dikemas ulang. Praktik pengoplosan ini dilakukan untuk mengejar margin keuntungan lebih besar, dengan mengorbankan kualitas serta kredibilitas rantai pasok pangan nasional.
Peran Food Station

PT Food Station Tjipinang Jaya merupakan perusahaan milik daerah yang memiliki mandat penting sebagai penyeimbang harga dan pengatur distribusi bahan pokok, terutama beras, di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Dikenal sebagai lumbung pangan Ibu Kota, perusahaan ini selama bertahun-tahun dipercaya menjaga stabilitas pasokan beras dan memastikan masyarakat memperoleh produk yang layak konsumsi.
Namun kepercayaan itu kini runtuh. Penyidikan mengungkap bahwa dalam kurun waktu tertentu, perusahaan justru diduga menjadi bagian dari praktik manipulasi pasar melalui skema beras oplosan. Tidak tanggung-tanggung, dugaan tersebut menyeret langsung pucuk pimpinan, yaitu Dirut AW, yang kini berstatus tersangka.
Modus Operandi: Dari Gudang ke Konsumen
Modus operandi dalam skema beras oplosan ini tergolong canggih. Beras medium dan pecah digabungkan, lalu dikemas ulang menggunakan karung berlabel premium. Proses pengoplosan terjadi di beberapa gudang rekanan, termasuk yang berada di bawah kendali Food Station.
Beras tersebut kemudian disalurkan ke pasar ritel modern dan tradisional, dijual dengan harga beras premium namun kualitasnya jauh di bawah standar. Tak hanya menipu konsumen dari segi kualitas, praktik ini juga berpotensi memengaruhi harga di pasar dan menciptakan distorsi ekonomi yang merugikan banyak pihak, termasuk petani.
Penetapan Tersangka dan Dampaknya
Di Lansir Dari detik.com Kepolisian Republik Indonesia, melalui Divisi Humas dan Satgas Pangan, secara resmi menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini, salah satunya adalah AW. Mereka dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta UU tentang Pangan dan Perdagangan. Jika terbukti bersalah, ancaman hukuman mencapai 5 tahun penjara, dengan denda hingga miliaran rupiah.
Penetapan tersangka terhadap pejabat tinggi BUMD ini menjadi pukulan telak bagi reputasi manajemen Food Station dan Pemprov DKI Jakarta secara keseluruhan. Masyarakat pun bertanya-tanya: bagaimana mungkin pengawasan terhadap institusi publik yang seharusnya mengayomi justru longgar dan lalai?
Reaksi Pemerintah dan Publik
Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional, menyampaikan keprihatinan mendalam. Mereka menegaskan pentingnya audit menyeluruh terhadap semua lembaga distribusi pangan, baik milik negara maupun swasta.
Pemprov DKI Jakarta pun tak tinggal diam. Gubernur sementara menonaktifkan tersangka dari jabatannya dan memerintahkan pembenahan menyeluruh di tubuh perusahaan. Investigasi internal segera digelar untuk menelusuri sejauh mana keterlibatan pejabat lainnya.
Sementara itu, publik merespons dengan gelombang kritik tajam, terutama di media sosial. Banyak warga merasa dikhianati oleh institusi yang selama ini dipercaya menjaga harga dan ketersediaan pangan. Hashtag seperti #BerasOplosan dan #FoodStation sempat viral di jagat maya.
Ancaman Terhadap Ketahanan Pangan

Lebih dari sekadar skandal korupsi, kasus beras oplosan ini mencerminkan potensi ancaman besar terhadap ketahanan pangan nasional. Keamanan pangan bukan hanya soal ketersediaan, tetapi juga tentang kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab.
Praktik manipulatif seperti ini bisa menciptakan efek domino yang merugikan banyak lapisan masyarakat. Petani lokal kehilangan kepercayaan terhadap pasar, konsumen dirugikan dari sisi kualitas dan harga, dan pemerintah harus menanggung beban rehabilitasi sistem yang tercoreng.
BACA JUGA : Tragis! Remaja Putri di Bengkulu Bunuh Ibu Kandung Pakai Cobek Saat Salat Dzuhur
Solusi dan Pembenahan
Kasus ini harus dijadikan momentum evaluasi total terhadap sistem distribusi pangan di Indonesia. Beberapa langkah penting yang perlu segera dilakukan antara lain:
- Digitalisasi Distribusi
Pengawasan berbasis teknologi diperlukan agar setiap alur distribusi dapat dilacak secara real time. - Audit Rutin dan Independen
Audit tidak boleh hanya formalitas. Lembaga independen harus dilibatkan untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan. - Perlindungan Konsumen yang Lebih Kuat
Edukasi dan saluran pengaduan yang mudah diakses masyarakat akan meningkatkan partisipasi publik dalam pengawasan. - Sanksi Tegas dan Transparan
Pelaku penyimpangan harus dihukum secara transparan tanpa kompromi, agar menjadi efek jera.
Penutup
Skandal beras oplosan yang melibatkan pucuk pimpinan Food Station adalah tamparan keras bagi sistem distribusi pangan nasional. Kasus ini mengingatkan semua pihak bahwa ketahanan pangan tidak bisa dibangun di atas fondasi manipulasi dan keserakahan.
Ke depan, kejujuran dan integritas harus menjadi landasan utama dalam setiap aspek pengelolaan bahan pokok. Jika tidak, maka kita hanya akan membangun sistem yang rapuh—mudah goyah saat dihadapkan pada tekanan, dan menyisakan luka yang sulit sembuh di hati rakyat.

