
Sebuah insiden memilukan di Ruang Gawat Darurat (IGD) RSUD Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, telah menyulut amarah publik dan kembali menyorot isu krusial mengenai keselamatan dan martabat tenaga kesehatan di Indonesia. Seorang dokter jaga, yang tengah berjuang menyelamatkan nyawa pasien anak dalam kondisi kritis, menjadi korban intimidasi verbal hingga perlakuan tidak menyenangkan oleh keluarga pasien lain. Puncaknya, masker medis yang ia kenakan ditarik paksa dengan dalih “biar viral,” sebuah tindakan yang tidak hanya melanggar etika, tetapi juga menginjak-injak harga diri seorang profesional medis.
Peristiwa yang terekam dalam video dan menyebar luas di media sosial ini bukan sekadar cerita tentang kesalahpahaman. Ia adalah cerminan dari mentalitas “pasien VIP” yang keliru, miskonsepsi publik tentang sistem triase darurat, dan betapa rentannya para garda terdepan layanan kesehatan terhadap kekerasan di tempat kerja mereka sendiri.
Kronologi Intimidasi di Tengah Keriuhan IGD RSUD Sekayu

Dilansir dari news.detik.com Semua berawal pada suatu malam yang sibuk di IGD RSUD Sekayu. Dokter Syahpri Putra Wangsa, sedang fokus menangani pasien anak yang mengalami demam tinggi dan kejang—sebuah kondisi yang memerlukan penanganan segera dan cermat. Di saat yang bersamaan, masuk seorang pasien lansia dengan luka di kepala. Keluarga pasien lansia ini, yang menganggap diri mereka sebagai “pasien VIP,” merasa tidak sabar dan menuduh Dokter Syahpri Putra Wangsa lambat memberikan pelayanan.
Menurut penuturan Dokter Syahpri Putra Wangsa kepada media, keluarga pasien tersebut terutama seorang wanita berhijab biru mulai melontarkan kata-kata kasar dan mengintimidasi. Mereka merekam aktivitas sang dokter sambil terus memarahinya. “Kenapa pasien kami tidak dilayani? Lambat sekali!” begitu kira-kira hardikan yang diterima Dokter Syahpri Putra Wangsa.
Padahal, menurut Direktur RSUD Sekayu, dr. Sharlie Esa Kenedy, pasien lansia tersebut bukannya ditelantarkan. Ia sudah melalui proses triase (pemilahan pasien berdasarkan tingkat kegawatan) dan sedang ditangani oleh perawat sesuai prosedur. Namun, keluarga pasien tidak mau mengerti.
Puncak dari intimidasi terjadi saat wanita dari keluarga pasien tersebut mendekati Dokter Syahpri Putra Wangsa dan dengan kasar menarik paksa masker medis yang menutupi wajahnya. “Biar viral! Biar tahu semua orang!” teriaknya, seolah-olah membuka wajah sang dokter adalah sebuah hukuman yang pantas. Bagi Dokter Syahpri Putra Wangsa, momen itu terasa menghancurkan. “Saya merasa harga diri saya sebagai dokter, sebagai manusia, sebagai perempuan, diinjak-injak,” ungkapnya pilu.
Dari “Perdamaian” Semu ke Langkah Hukum

Setelah video insiden viral, pihak manajemen RSUD Sekayu memfasilitasi pertemuan mediasi. Dalam pertemuan tersebut, keluarga pasien yang melakukan intimidasi menyampaikan permintaan maaf. Sebuah video “klarifikasi dan perdamaian” pun dibuat, di mana kedua belah pihak terlihat duduk bersama. Namun, bagi Dokter Syahpri Putra Wangsa, perdamaian itu terasa semu dan terjadi di bawah tekanan. Luka batin dan perasaan terhina tidak bisa serta-merta hilang dengan selembar materai dan jabat tangan.
Merasa keadilan belum sepenuhnya ditegakkan dan demi memberikan efek jera, Dokter Syahpri Putra Wangsa, dengan dukungan penuh dari manajemen rumah sakit dan tim kuasa hukumnya, mengambil langkah tegas. Ia secara resmi melaporkan insiden tersebut ke Polres Musi Banyuasin. Laporan ini dibuat atas dasar dugaan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Langkah hukum ini menjadi pesan yang kuat: intimidasi dan kekerasan terhadap tenaga kesehatan bukanlah delik aduan biasa yang bisa selesai dengan permintaan maaf. Ini adalah serangan terhadap profesi dan institusi layanan kesehatan yang harus ditindak secara hukum untuk mencegah kejadian serupa terulang di masa depan.
Menggugat Mentalitas “Pasien VIP” dan Salah Paham Triase
Insiden di RSUD Sekayu secara telanjang mempertontonkan masalah yang lebih dalam: ketidakpahaman sebagian masyarakat terhadap cara kerja IGD. Ruang gawat darurat bukanlah antrean loket bank yang menganut sistem “siapa datang pertama, dia dilayani pertama.” IGD menerapkan sistem triase, sebuah protokol medis standar internasional untuk memprioritaskan pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratan kondisi mereka, bukan berdasarkan status sosial, ekonomi, atau klaim “VIP”.
Pasien dengan ancaman henti jantung, gagal napas, atau kejang (seperti pasien anak yang ditangani Dokter Syahpri Putra Wangsa) akan mendapat label merah dan harus ditangani detik itu juga. Pasien dengan luka berat namun stabil mungkin mendapat label kuning, sementara luka ringan mendapat label hijau. Mentalitas “pasien VIP” yang menuntut perlakuan istimewa dan lebih cepat adalah ancaman nyata bagi sistem ini. Ia tidak hanya mengganggu konsentrasi tenaga medis, tetapi juga berpotensi membahayakan nyawa pasien lain yang kondisinya lebih kritis.
Masker Bukan Sekadar Kain, Tapi Simbol Martabat
Tindakan menarik paksa masker Dokter Syahpri Putra Wangsa memiliki makna simbolis yang dalam. Masker, terutama sejak pandemi COVID-19, adalah Alat Pelindung Diri (APD) vital. Namun lebih dari itu, ia adalah bagian dari seragam profesionalisme seorang tenaga medis. Memaksa membukanya adalah tindakan penelanjangan simbolis, sebuah serangan langsung pada otoritas dan martabat profesi.
Kejadian ini menambah daftar panjang kasus kekerasan verbal dan fisik yang dialami nakes di Indonesia. Data dari berbagai organisasi profesi kesehatan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sudah saatnya ada perlindungan hukum yang lebih kuat dan kesadaran publik yang lebih baik untuk melindungi mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk merawat orang sakit.
Kasus Dokter Syahpri Putra Wangsa kini berada di tangan pihak kepolisian. Publik berharap proses hukum berjalan adil dan transparan. Kemenangan Dokter Syahpri Putra Wangsa dalam mencari keadilan bukan hanya kemenangan pribadi, melainkan kemenangan bagi ribuan tenaga kesehatan lain di seluruh Indonesia yang bekerja dalam bayang-bayang ancaman serupa. Ini adalah pertaruhan untuk memastikan bahwa ruang gawat darurat tetap menjadi tempat penyembuhan yang aman, bukan arena intimidasi di mana harga diri seorang penyelamat nyawa bisa direnggut begitu saja.

