
Tragedi Ambruknya Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo pada Senin (29/9) menjadi peristiwa memilukan sekaligus menyita perhatian publik. Bangunan tiga lantai yang tengah dicor tiba-tiba runtuh saat 140 santri sedang melaksanakan salat Asar berjamaah. Dari jumlah tersebut, 102 santri berhasil diselamatkan, namun tiga di antaranya meninggal dunia dan puluhan lainnya sempat terjebak di bawah reruntuhan.
Dilansir dari detik.com, Peristiwa ini langsung memunculkan berbagai pertanyaan: bagaimana mungkin sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang seharusnya aman justru menjadi lokasi musibah? Untuk menjawabnya, berikut fakta lengkap ambruknya Ponpes Al Khoziny Sidoarjo yang berhasil dihimpun dari berbagai pihak.
1. Ambruknya Ponpes Al Khoziny Diduga Tak Memiliki IMB
Salah satu sorotan utama adalah soal izin mendirikan bangunan (IMB). Bupati Sidoarjo, Subandi, mengungkapkan kekecewaannya saat meninjau lokasi. Menurutnya, bangunan tiga lantai tersebut berdiri tanpa dokumen resmi.
“Ini saya tanyakan izin-izinnya mana, tetapi ternyata nggak ada. Ngecor lantai tiga, padahal konstruksi tidak standar, akhirnya roboh,” tegas Subandi (30/9/2025).
Fakta ini menunjukkan lemahnya pengawasan sekaligus dugaan adanya kelalaian serius sejak tahap perencanaan.
2. Awalnya Hanya Direncanakan Satu Lantai
Pakar Teknik Sipil Struktur ITS, Mudji Irmawan, menyebut bahwa sejak awal desain bangunan ponpes sebenarnya hanya untuk satu lantai. Namun, karena kebutuhan ruang bertambah seiring meningkatnya jumlah santri, bangunan itu dipaksakan menjadi tiga lantai tanpa kajian mendalam.
Menurut Mudji, keputusan ini menjadi salah satu penyebab utama kegagalan konstruksi. “Awalnya hanya untuk satu lantai, lalu dipaksakan menjadi tiga. Tanpa perencanaan teknis yang matang, tentu berisiko besar,” jelasnya.
3. Beban Bangunan Meningkat Drastis
Masalah lain yang memperparah kondisi, dan menyebabkan Ambruknya Ponpes Al Khoziny adalah soal beban konstruksi. Penambahan lantai tanpa perhitungan membuat daya dukung bangunan tidak seimbang.
Mudji mencontohkan, beban yang seharusnya 100% meningkat hingga 300%. Artinya, struktur lantai dasar dan lantai dua tidak sanggup lagi menahan tekanan tambahan.
“Itu salah satu faktor kunci mengapa bangunan tidak mampu menahan beban. Pondasi dan tiang yang dirancang untuk satu lantai jelas tidak cocok menopang tiga lantai,” papar Mudji.
4. Proses Belajar Tetap Berjalan Saat Pengecoran
Fakta lain yang mengundang kritik adalah tetap berlangsungnya aktivitas belajar mengajar ketika proses pengecoran lantai tiga dilakukan.
Menurut Mudji, kondisi ini sangat berisiko karena bangunan yang tengah dikerjakan jelas dalam keadaan tidak stabil. Ironisnya, lantai satu masih dipakai untuk ngaji dan kegiatan santri.
Situasi inilah yang memperbesar korban ketika akhirnya bangunan runtuh.
5. Kontraktor dan Pengurus Dinilai Lalai
Dari sisi tanggung jawab, para ahli menilai bahwa musibah ini terjadi karena adanya kelalaian ganda: kontraktor dan pengurus ponpes.
- Kontraktor dianggap tidak memiliki pengalaman cukup dalam menangani bangunan bertingkat. Menurut UU Jasa Konstruksi, seharusnya kontraktor memiliki tenaga ahli, pengalaman, serta peralatan memadai.
- Pengurus ponpes dinilai memaksakan pembangunan tanpa memperhatikan risiko teknis. Dorongan untuk menampung lebih banyak santri justru mengorbankan aspek keselamatan.
“Seharusnya kontraktor bisa menilai apakah bangunan sanggup atau tidak menopang. Tapi ini tidak dilakukan dengan benar,” ungkap Mudji.
6. Menteri Agama Turut Angkat Bicara
Peristiwa Ambruknya Ponpes Al Khoziny ini juga mendapat perhatian dari Menteri Agama Nasaruddin Umar. Ia menyampaikan belasungkawa sekaligus menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh agar kejadian serupa tidak berulang.
“Tidak boleh ada lagi pondok pesantren roboh karena kelalaian teknis. Kami di Kementerian Agama akan memperkuat pengawasan ke depan,” tandas Nasaruddin.
Pelajaran Penting dari Tragedi Ponpes Al Khoziny
Kasus Ambruknya Ponpes Al Khoziny ini memberikan beberapa pelajaran penting:
- Pentingnya izin resmi – IMB bukan sekadar formalitas, tetapi jaminan bahwa bangunan sesuai standar keselamatan.
- Perencanaan teknis wajib matang – perubahan desain, terutama penambahan lantai, harus melalui perhitungan profesional.
- Keselamatan santri prioritas utama – kegiatan belajar seharusnya dihentikan ketika proses konstruksi berlangsung.
- Pengawasan pemerintah perlu diperketat – agar lembaga pendidikan berbasis masyarakat tidak mengabaikan aspek teknis.
Kesimpulan
Tragedi ini bukan hanya musibah lokal, melainkan juga peringatan nasional bahwa keselamatan harus selalu menjadi prioritas dalam pembangunan, termasuk di lingkungan pendidikan keagamaan.
Dengan memahami fakta lengkap ambruknya Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, publik diingatkan bahwa setiap pembangunan wajib mematuhi aturan, memperhatikan standar teknis, dan menempatkan keamanan manusia di atas segalanya.

