
Gerakan ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ bentuk keresahan publik yang saat ini ramai digaungkan warganet di media sosial menjadi simbol perlawanan terhadap maraknya penyalahgunaan sirene, strobo, dan rotator di jalan raya. Istilah ini lahir dari onomatope bunyi sirene kendaraan yang kerap dipakai arogan, baik oleh kendaraan pribadi maupun pejabat yang tidak sedang bertugas resmi.
Tagar dan konten yang membawa slogan ini viral karena menggambarkan keresahan masyarakat yang sudah lama terpendam. Bagi banyak orang, jalan raya seharusnya menjadi ruang bersama yang aman, bukan panggung pamer kekuasaan.
Kritik DPR: Jalan Raya Bukan Panggung Arogansi
Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez, menilai gerakan ini mencerminkan kemarahan sekaligus kelelahan publik. Menurutnya, ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ bentuk keresahan publik yang nyata, bukan sekadar tren internet.
“Jalan raya seharusnya menjadi ruang aman, bukan arena arogansi. Gerakan ini adalah sinyal kuat dari rakyat yang mendesak penegakan aturan lebih konsisten,” ujar Gilang.
Politisi PDI Perjuangan itu juga menekankan bahwa Polri harus berani memberi sanksi tegas bagi pelanggar aturan penggunaan sirene dan strobo. Ia bahkan mendorong adanya razia berkala, penindakan hukum tanpa pandang bulu, dan edukasi publik berkelanjutan.
Bentuk Kampanye Gerakan ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ di Jalan
Dilansir dari kompas.com, Tak hanya ramai di dunia maya, kampanye ini juga menjalar ke jalan raya. Banyak pengendara memasang stiker bertuliskan “Stop Tot-Tot Wuk-Wuk” di kendaraannya sebagai bentuk partisipasi nyata.
Di media sosial, warganet membagikan foto kendaraan yang ketahuan memakai strobo dan sirene ilegal. Ada juga unggahan yang menyindir patroli aparat atau iring-iringan pejabat yang dianggap menggunakan fasilitas darurat untuk kepentingan pribadi.
Fenomena ini membuktikan bahwa keresahan publik sudah melampaui sekadar keluhan, melainkan berubah menjadi gerakan sosial dengan ekspresi kreatif.
Akar Masalah: Penyalahgunaan Sirene dan Strobo
Maraknya kendaraan pribadi atau pejabat yang menggunakan strobo dan sirene tanpa hak adalah penyebab utama lahirnya gerakan ini.
Padahal, aturan dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah sangat jelas: hanya ambulans, mobil pemadam kebakaran, kendaraan pengawalan resmi, dan iring-iringan jenazah yang berhak mendapat prioritas di jalan raya.
Namun kenyataan di lapangan berbeda. Banyak pengendara memanfaatkan aksesori darurat ini untuk:
- Membelah kemacetan dengan alasan pribadi.
- Menyalip kendaraan lain secara arogan.
- Menggunakan sirene berlebihan meski tanpa situasi darurat.
- Membuat pengendara lain terintimidasi atau terganggu.
Menurut Gilang, praktik seperti ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengikis rasa keadilan masyarakat di jalan raya.
Analisis Akademisi: Bisa Berujung Pembangkangan Sipil
Pakar sosiologi dari IPB University, Dr. Ivanovich Agusta, menilai fenomena gerakan ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ bentuk keresahan publik yang serius dan berpotensi berkembang menjadi pembangkangan sipil.
“Solidaritas publik di jalan kini semakin kuat. Penolakan ini bisa berkembang menjadi norma baru kesetaraan di jalan raya, yang menolak privilese berlebihan dari pejabat atau aparat,” ujarnya.
Ivanovich menilai, maraknya penyalahgunaan sirene dan strobo mencerminkan ketimpangan sosial dan minimnya penegakan hukum. Akibatnya, masyarakat mulai menciptakan sanksi sosial berupa cemoohan, kritik massal, hingga aksi kolektif seperti pemasangan stiker dan protes online.
Dampak Sosial: Hilangnya Kepercayaan pada Sistem Darurat
Jika keresahan publik ini terus diabaikan, ada risiko lebih besar: turunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem darurat yang sah.
Orang mungkin mulai tidak menyingkir ketika mendengar sirene, karena trauma dengan penyalahgunaan sebelumnya. Akibatnya, kendaraan darurat yang sebenarnya membutuhkan prioritas — seperti ambulans atau pemadam kebakaran — bisa terhambat.
Ivanovich memperingatkan bahwa hal ini bisa menimbulkan resistensi horizontal di jalan raya, memperbesar konflik antar pengguna jalan, bahkan berpotensi menimbulkan insiden berbahaya.
Aturan Resmi: Siapa Saja yang Berhak Pakai Sirene dan Strobo?
Berdasarkan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) pasal 134–135, berikut kendaraan yang berhak mendapat prioritas dengan sirene dan strobo:
- Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang bertugas.
- Ambulans yang mengangkut pasien sakit atau darurat.
- Kendaraan untuk menolong kecelakaan lalu lintas.
- Kendaraan pimpinan lembaga negara RI.
- Kendaraan pejabat negara asing/tamu resmi.
- Iring-iringan pengantar jenazah.
- Konvoi/kendaraan tertentu dengan izin resmi Polri.
Selain itu, pasal 59 UU LLAJ juga mengatur warna strobo:
- Biru + sirene → kendaraan Polri.
- Merah + sirene → pemadam kebakaran, ambulans, TNI, palang merah, rescue, jenazah.
- Kuning (tanpa sirene) → kendaraan perawatan jalan, patroli tol, derek, atau angkutan khusus.
Artinya, di luar kategori itu, penggunaan sirene dan strobo jelas ilegal dan dapat dikenai sanksi hukum.
Solusi yang Didorong DPR dan Publik
Untuk mengatasi keresahan publik ini, sejumlah solusi ditawarkan, di antaranya:
- Razia rutin dan transparan oleh Polri.
- Penyitaan peralatan sirene/rotator ilegal dari kendaraan pribadi.
- Pemberian sanksi tegas tanpa pandang bulu, termasuk kepada oknum pejabat.
- Edukasi publik mengenai aturan sirene dan strobo.
- Evaluasi menyeluruh Korlantas Polri agar ada SOP yang jelas dan konsisten.
Gilang Dhielafararez menekankan, tanpa konsistensi, masyarakat akan terus melihat ketidakadilan di jalan raya.
Kesimpulan
Gerakan ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ bentuk keresahan publik yang viral adalah cerminan keresahan sosial sekaligus bentuk kontrol masyarakat terhadap arogansi di jalan. Apa yang awalnya sekadar sindiran warganet kini berkembang menjadi kampanye besar yang menuntut perubahan nyata.
Jika aparat mampu merespons dengan kebijakan tegas, transparan, dan konsisten, maka jalan raya bisa kembali menjadi ruang yang aman dan setara bagi semua. Sebaliknya, jika diabaikan, keresahan ini bisa berubah menjadi ketidakpercayaan publik bahkan pembangkangan sipil.

