
Kasus pelecehan seksual dialami siswi SMPN 13 Bekasi pertama kali mencuat ketika seorang siswi aktif berani bersuara mengenai tindakan tak pantas yang dialaminya dari seorang guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial JP.
Keberanian siswi ini membuat sejumlah alumni yang pernah menjadi korban juga ikut buka suara. Akhirnya, pihak sekolah mengambil tindakan awal dengan menonaktifkan guru tersebut dari seluruh aktivitas mengajar.
Menurut keterangan Kepala SMPN 13 Kota Bekasi, Tetik Atikah, dugaan pelecehan ini sudah terjadi setidaknya dua kali, yakni pada April dan Agustus 2025. Meski sebelumnya sempat ditegur, oknum guru itu diduga tetap mengulangi perbuatannya.
Guru SMPN 13 di Bekasi Didemo: Desakan Keadilan di Gerbang Sekolah

Puluhan alumni SMPN 13 Kota Bekasi kemudian menggelar aksi unjuk rasa pada Senin (25/8/2025). Mereka membawa spanduk dan pamflet berisi kecaman serta tuntutan agar kasus tersebut diusut hingga tuntas.
Beberapa spanduk yang terbentang bertuliskan pesan keras seperti:
- “Stop Pencabulan, Usut Tuntas Kasus Ini”
- “Sekolah Harus Lindungi Murid, Bukan Melindungi Pelaku”
Selain alumni, salah satu orang tua korban berinisial BY juga hadir. Ia mengaku baru mengetahui anaknya menjadi korban setelah mendengar kabar adanya aksi demonstrasi tersebut.
Kesaksian Orang Tua Korban

Dalam wawancara, BY menuturkan bahwa putrinya yang kini duduk di bangku SMA pernah menjadi korban saat masih bersekolah di SMPN 13. Awalnya ia tidak menyangka, hingga anaknya bercerita jelang aksi demo.
“Awalnya saya tidak peduli, tapi setelah anak saya mengaku menjadi korban pelecehan, saya memutuskan untuk ikut speak up dan menuntut keadilan,” ujar BY.
Ia juga menduga jumlah korban lebih banyak daripada yang sudah terungkap. “Saya enggak tahu persis jumlahnya, tapi yang jelas cukup banyak,” tambahnya.
Tindakan Pihak Sekolah
Kepala sekolah, Tetik Atikah, menegaskan bahwa pihaknya hanya memiliki kewenangan menonaktifkan guru tersebut dari aktivitas sekolah. Soal status kepegawaian JP sebagai ASN, hal itu berada di bawah kewenangan Pemerintah Kota Bekasi.
“Beliau kan ASN, kepala sekolah tidak bisa memecat. Kami sudah menonaktifkan, untuk selanjutnya kami serahkan ke Pemkot Bekasi,” kata Tetik.
Pihak sekolah juga mengimbau para alumni yang merasa pernah menjadi korban agar melapor langsung ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bekasi agar kasus ini bisa diproses secara hukum.
Dukungan dari DP3A dan Proses Trauma Healing

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bekasi sudah mulai memberikan pendampingan psikologis bagi para korban, termasuk anak dari BY. Proses trauma healing dilakukan untuk membantu korban kembali pulih secara mental.
DP3A juga membuka posko aduan agar alumni maupun siswi aktif yang pernah menjadi korban pelecehan bisa melapor dengan aman.
Desakan Publik: Hukum Tegas dan Transparansi
Dilansir dari metrotvnews.com, Kasus pelecehan seksual dialami siswi SMPN 13 Bekasi mendapat sorotan luas dari masyarakat. Banyak pihak menilai sekolah harus bersikap lebih transparan, sementara aparat penegak hukum diminta segera mengambil langkah konkret.
Beberapa poin desakan publik antara lain:
- Pemerintah Kota Bekasi segera mencabut status ASN terduga pelaku.
- Aparat penegak hukum mengusut tuntas dugaan pencabulan tanpa pandang bulu.
- Sekolah memperkuat sistem perlindungan terhadap siswa, termasuk penyuluhan anti-pelecehan.
- Korban mendapat pendampingan hukum dan psikologis jangka panjang.
Refleksi: Perlindungan Siswa Harus Jadi Prioritas
Kasus ini kembali membuka mata banyak orang tentang pentingnya perlindungan anak di lingkungan pendidikan. Sekolah seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar, bukan justru menimbulkan trauma.
Ke depan, diperlukan langkah nyata: pelatihan etika guru, sistem pengawasan ketat, hingga fasilitas pengaduan yang ramah anak. Karena satu kasus pelecehan saja sudah cukup untuk merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan.
Penutup
Kasus pelecehan seksual dialami siswi SMPN 13 Bekasi bukan hanya menjadi perhatian warga Bekasi, tetapi juga publik nasional. Dengan semakin banyak korban yang berani bersuara, harapan besar muncul agar kasus ini diusut tuntas, pelaku dihukum setimpal, dan korban mendapat pemulihan yang layak.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa keberanian untuk bersuara adalah langkah awal menuju keadilan, dan perlindungan terhadap anak di sekolah adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar.

