
Kornet.co.id – Di Gorontalo, publik kembali dikejutkan oleh sebuah kasus yang melibatkan seorang Ibu dan anak kandungnya sendiri.
Sebuah tindakan kekerasan yang memantik emosi sekaligus tanda tanya besar.
Laporan yang masuk menyebutkan, seorang anak di bawah umur mengalami penganiayaan fisik.
Bukan oleh orang luar.
Bukan oleh kriminal tak dikenal.
Tetapi justru oleh orang yang melahirkannya.
Fenomena ini bukan sekedar insiden individual.
Ini adalah potret problem sosial — rapuhnya sistem komunikasi keluarga, tergerusnya kontrol emosi, dan tekanan rumah tangga yang menumpuk menjadi ledakan.
Diduga Dipicu Persoalan Rumah Tangga yang Memanas
Informasi awal yang beredar di media lokal menjelaskan bahwa dugaan pemicu tragedi kekerasan tersebut berawal dari persoalan internal rumah tangga.
Problematik suami-istri.
Pertengkaran.
Ketegangan.
Dan anak berada di tengah.
Pada titik tertentu, konflik orang dewasa — bisa berubah menjadi kekerasan yang jatuh ke anak yang bahkan tidak punya kapasitas melawan.
Pengamat sosial menyebut ini sebagai “transfer tekanan”.
Ketika seorang Ibu mendapat tekanan mental karena relasi yang hancur, maka energi negatif itu keluar ke pihak yang rentan, yaitu anak.
Walau belum ada konfirmasi detail final dari penyidik, pola kasus ini adalah pola yang paling sering terjadi di banyak daerah di Indonesia.
Inilah titik berbahayanya
Ketika beban psikis orang dewasa dibuang kepada anak, di situlah terjadi proses destruksi karakter, trauma permanen, dan luka yang tak kasatmata namun menetap.
Aparat Bergerak – Tidak Ada Kekerasan Yang Ditoleransi
Dilansir dari prosesnews.id Setelah laporan masuk, pihak kepolisian bergerak.
Pemeriksaan dilakukan.
Pendalaman motif dijalankan.
Langkah-langkah hukum mulai diambil untuk memastikan setiap tindakan kekerasan tidak dibiarkan.
Karena anak bukan tameng.
Bukan tempat pelampiasan frustasi.
Dan bukan ruang sampah emosi orang dewasa.
Dalam hukum, tidak ada pengecualian.
Bahkan bila pelaku adalah Ibu kandung sekalipun.
Tidak ada kalimat “namanya juga orang tua”.
Tidak ada normalisasi.
Dan tidak boleh ada pembiaran.
Ini Bukan Kasus Pertama
Kekerasan domestik oleh orang tua terhadap anak di Indonesia bukan angka yang kecil.
Data di beberapa lembaga perlindungan anak menunjukkan tren peningkatan setiap tahun.
Kekerasan bisa berupa verbal, psikis, hingga fisik.
Dan mayoritas penyebabnya bukanlah soal anak itu sendiri.
Mayoritas lahir dari konflik orang dewasa.
Perceraian.
Perselingkuhan.
Pertengkaran uang.
Hubungan suami-istri yang tidak sehat.
Anak menjadi korban sampingannya.
Inilah realitas pahit masyarakat kita.
Kenapa Ibu Bisa Menjadi Pelaku?
Secara naluri, seorang Ibu diciptakan untuk melindungi dan mengasuh.
Namun ketika tekanan mental menghancurkan struktur batin, naluri ini bisa tergeser oleh insting destruktif.
Ada tiga faktor utama yang sering ditemukan pada kasus serupa:
- Overload emosi
Tidak ada ruang untuk menyalurkan tekanan. Emosi terakumulasi terlalu banyak. - Tidak ada sistem support
Tidak ada dukungan dari pasangan, keluarga, atau lingkungan. - Trauma yang tidak pernah disembuhkan
Banyak pelaku kekerasan adalah korban kekerasan yang belum sembuh.
Pola ini berulang.
Berkelanjutan.
Menciptakan generasi trauma baru lagi.
Di Sini Pentingnya Deteksi Dini
Kasus ini menjadi alarm keras bagi keluarga, tetangga, dan komunitas.
Ketika ada anak yang sering terlihat murung, ketakutan, atau terluka — jangan diam.
Diam adalah bagian dari proses kerusakan.
Semakin cepat ada intervensi, semakin cepat kekerasan bisa dihentikan.
Penutup
Kasus Ibu di Gorontalo yang diduga menganiaya anaknya menjadi cermin bahwa kekerasan pada anak sering lahir bukan dari kebencian pada anak, tetapi dari kebencian yang tidak selesai pada suami, pasangan, atau konflik rumah tangga.
Namun apapun pemicunya — kekerasan terhadap anak adalah pelanggaran mutlak.
Anak bukan target balas dendam.
Anak bukan sasaran emosi yang tidak stabil.
Anak adalah manusia yang harus dilindungi.
Satu kasus seperti ini bisa terjadi di mana saja.
Dan selalu bisa terulang kapan saja — selama masyarakat masih menganggap kekerasan domestik hanya “urusan rumah tangga”.
Padahal ini bukan urusan privat.
Ini masalah sosial.
Ini masalah bangsa.
Dan itulah kenapa kasus ini bukan hanya berita.
Ini peringatan keras.
Saat anak dipukul — masa depan bangsa ikut terhantam.
Ketika kekerasan jadi mekanisme pelampiasan — kita sedang membesarkan generasi trauma.
Semoga proses hukum berjalan transparan.
Semoga pemulihan psikologis anak benar-benar diperhatikan.
Dan yang paling penting:
Semoga masyarakat sadar, bahwa kekerasan dalam rumah tidak boleh dirahasiakan. Harus dilaporkan. Harus dicegah. Harus dihentikan.

