
Sebuah pemandangan yang tidak biasa dan mengejutkan terjadi di balik gemerlap sorotan kamera televisi. Apa yang seharusnya menjadi adu argumen intelektual antara dua praktisi hukum berakhir dengan Pemukulan. Pengacara kondang Sunan Kalijaga terlibat dalam kericuhan hebat dengan tim kuasa hukum dokter kecantikan Reza Gladys, yang salah satunya diidentifikasi sebagai Tohap Silaban. Insiden ini terjadi sesaat setelah keduanya menjadi narasumber dalam sebuah program debat di stasiun televisi tvOne.
Peristiwa yang terekam dalam berbagai video amatir dan viral di media sosial ini sontak menjadi perbincangan publik. Kericuhan tersebut tidak hanya memindahkan sengketa klien mereka dari ruang sidang ke ruang publik, tetapi juga ke arena fisik yang mencederai marwah profesi hukum itu sendiri. Kasus ini kini telah memasuki ranah hukum pidana setelah Sunan Kalijaga secara resmi melaporkan insiden tersebut ke pihak kepolisian.
Akar Masalah: Tensi Tinggi Sejak On-Air

Dilansir dari Beritasatu.com Kericuhan ini bukanlah sebuah ledakan emosi yang tiba-tiba. Benih-benih konflik sudah terlihat jelas selama acara debat berlangsung. Sunan Kalijaga dan Tohap Silaban diundang sebagai perwakilan hukum dari klien mereka masing-masing yang tengah berseteru. Selama program “Kabar Petang” di tvOne, suasana debat sudah memanas. Keduanya saling melontarkan argumen tajam dan mempertahankan posisi klien mereka dengan gigih.
Menurut Sunan, tensi sudah meninggi karena ia merasa pihak lawan tidak menunjukkan etika profesional selama berdebat di depan kamera. Adu mulut dan saling potong pembicaraan mewarnai dialog mereka. Panasnya perdebatan ini ternyata tidak mendingin bahkan setelah lampu sorot studio dipadamkan. Energi negatif dari dalam studio terbawa hingga ke luar, menjadi pemicu utama ledakan yang terjadi beberapa saat kemudian.
Kronologi Kericuhan Versi Sunan Kalijaga
Menurut versi yang disampaikan Sunan Kalijaga, insiden kekerasan terjadi setelah acara selesai. Ia mengaku diserang dan dikeroyok oleh tim pengacara Reza Gladys di lorong gedung tvOne. Dalam keterangannya kepada media, Sunan menyatakan bahwa ia tiba-tiba didatangi dan diserang secara fisik.
“Saya diserang, tiba-tiba saya didatangi, terus saya dikeroyok, saya dipukul,” ujar Sunan Kalijaga seperti dikutip dari berbagai sumber. Ia secara spesifik menunjuk Tohap Silaban sebagai pelaku pemukulan.
Untuk memperkuat klaimnya, Sunan menunjukkan bekas kemerahan di pipi kirinya yang disebutnya sebagai akibat dari tonjokan tersebut. Tak lama setelah kejadian, didampingi oleh timnya, Sunan Kalijaga langsung mendatangi Polda Metro Jaya untuk membuat laporan polisi atas dugaan tindak pengeroyokan sesuai Pasal 170 KUHP. Langkah ini diikuti dengan proses visum et repertum untuk mendokumentasikan luka yang dialaminya sebagai alat bukti hukum.
Narasi Tandingan dan Tuduhan “Playing Victim”
Namun, cerita yang beredar tidak hanya satu versi. Dari pihak lawan dan pengamatan sejumlah netizen yang melihat video kejadian dari berbagai sudut, muncul narasi tandingan. Menurut versi ini, Sunan Kalijaga justru yang lebih dulu bersikap provokatif setelah acara usai.
Beberapa saksi mata dan potongan video yang beredar menunjukkan Sunan Kalijaga tampak menghampiri Tohap Silaban dengan gestur yang dianggap menantang. Ia terlihat menunjuk-nunjuk wajah Tohap sambil melontarkan kata-kata dengan nada tinggi. Aksi inilah yang diduga memicu reaksi keras dari Tohap Silaban dan timnya, yang merasa tidak terima dengan perlakuan tersebut.
Akibatnya, di media sosial, opini publik terbelah. Sebagian bersimpati pada Sunan Kalijaga, namun tidak sedikit yang melontarkan kritik pedas. Sumber dari Radar Bali menyoroti bagaimana banyak netizen menuduh Sunan “playing victim” atau berlagak menjadi korban. Ia dianggap menyerang lebih dulu secara verbal dan provokatif, namun ketika mendapat balasan fisik, ia memposisikan diri sebagai pihak yang teraniaya.
Cerminan Buram Dunia Advokat

Terlepas dari siapa yang memulai dan siapa yang menjadi korban, insiden ini adalah sebuah noda hitam bagi profesi advokat di Indonesia. Advokat, sebagai officium nobile (profesi yang mulia), diharapkan menjadi teladan dalam menyelesaikan sengketa melalui jalur rasional, argumentatif, dan beradab. Pertarungan mereka seharusnya terjadi di dalam ruang sidang dengan adu bukti dan dalil hukum, bukan adu jotos di lorong stasiun televisi.
Peristiwa ini menunjukkan kegagalan para pihak dalam mengelola emosi dan menjaga profesionalisme di luar konteks pekerjaan formal mereka. Ironisnya, para penegak hukum yang seharusnya menyelesaikan masalah sesuai koridor hukum, justru menciptakan masalah hukum baru melalui tindakan kekerasan. Kejadian ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap integritas dan martabat para pengacara.
Kini, bola panas berada di tangan penyidik Polda Metro Jaya. Mereka memiliki tugas berat untuk mengurai kebenaran dari dua narasi yang saling bertentangan ini, dengan berbekal laporan, hasil visum, rekaman CCTV, dan keterangan saksi. Publik menantikan hasil investigasi yang adil dan transparan untuk menentukan siapa yang sesungguhnya bersalah dalam episode memalukan ini. Pada akhirnya, kasus ini menjadi pengingat keras bahwa amarah dan kekerasan tidak pernah menjadi solusi, terutama bagi mereka yang hidup dari dan untuk tegaknya hukum.

