
Kornet.co.id – Kontroversi besar kembali mengguncang dunia penyiaran Indonesia setelah tayangan “Xpose Uncensored” di Trans7 dianggap menghina lembaga pesantren dan kiai. Tayangan tersebut dinilai tidak hanya melanggar etika penyiaran, tetapi juga menyinggung nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam merespons hal itu, PBNU mengambil langkah tegas dengan melaporkan Trans7 ke Bareskrim Polri.
Laporan Resmi ke Bareskrim
Langkah hukum yang ditempuh oleh PBNU ini bukan muncul tiba-tiba. Sebelumnya, berbagai peringatan dan desakan moral telah disampaikan oleh pengurus NU di berbagai daerah, namun tak mendapatkan respons yang memuaskan. Akhirnya, Jumat sore di Jakarta, sejumlah petinggi PBNU mendatangi Gedung Bareskrim Polri dengan membawa bukti-bukti tayangan yang dinilai menghina simbol pesantren.
Sekretaris Jenderal PBNU, Saifullah Yusuf, menyatakan bahwa laporan ini adalah bentuk tanggung jawab moral untuk melindungi marwah dunia pesantren. “Kami tidak bisa membiarkan nilai-nilai luhur yang diajarkan di pesantren dilecehkan secara publik. Ini bukan hanya tentang perasaan warga NU, tapi tentang kehormatan tradisi pendidikan Islam di Indonesia,” tegasnya.
Dalam laporan tersebut, PBNU menilai tayangan “Xpose Uncensored” melanggar Undang-Undang Penyiaran dan pasal dalam KUHP yang mengatur penghinaan terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Isi Tayangan yang Memicu Kemarahan
Dilansir dari Disway.id Tayangan “Xpose Uncensored” menampilkan adegan satir yang menggambarkan karakter berpakaian seperti santri dengan perilaku yang jauh dari nilai-nilai kepesantrenan. Dalam segmen tersebut, tokoh yang seolah mewakili santri ditampilkan dengan gestur dan ucapan yang dianggap kasar dan tidak beradab. Adegan itu dengan cepat menjadi viral dan menuai kecaman dari publik, terutama dari kalangan pesantren.
Banyak yang menilai bahwa tayangan tersebut bukan sekadar candaan, melainkan bentuk penghinaan terbuka terhadap identitas santri yang selama ini identik dengan kesantunan dan akhlak mulia.
Reaksi Keras dari Komunitas Pesantren
Setelah video itu menyebar luas, berbagai pondok pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Kalimantan menggelar doa bersama dan mengirim surat keberatan kepada pihak Trans7. Para kiai menilai bahwa tindakan ini bukan hanya bentuk pelecehan, tetapi juga ancaman terhadap nilai-nilai moral bangsa.
Salah satu pimpinan pondok pesantren di Jombang menyebut, “Santri bukan bahan lelucon. Mereka adalah penjaga peradaban. Siapa pun yang mencoba merendahkan mereka, berarti merendahkan akar kebudayaan Islam Nusantara.”
Reaksi keras ini kemudian memperkuat posisi PBNU untuk melangkah secara hukum, agar masalah ini tidak hanya berhenti pada permintaan maaf di permukaan.
Upaya Mediasi yang Tidak Membawa Hasil
Sebelum laporan resmi dibuat, PBNU sempat mencoba melakukan mediasi dengan pihak Trans7. Namun, hasilnya dinilai tidak memuaskan. Pihak televisi disebut hanya memberikan permintaan maaf singkat tanpa menunjukkan komitmen perbaikan nyata.
Menurut pernyataan resmi dari salah satu pengurus harian PBNU, “Kami menghargai niat baik Trans7 untuk meminta maaf, tetapi pernyataan itu terasa formalitas belaka. Tidak ada langkah konkret untuk memastikan agar kesalahan seperti ini tidak terulang.”
Karena itu, PBNU akhirnya mengambil jalur hukum. Tujuannya bukan untuk memperkeruh suasana, melainkan memastikan bahwa setiap lembaga penyiaran memahami batas antara kreativitas dan penghinaan.
Dukungan Publik Meluas
Langkah tegas PBNU mendapat dukungan luas dari berbagai elemen masyarakat. Tagar #DukungPBNU sempat trending di media sosial. Masyarakat menilai bahwa tindakan ini penting sebagai pengingat bahwa dunia hiburan memiliki tanggung jawab sosial terhadap nilai dan etika bangsa.
Tak hanya kalangan pesantren, sejumlah tokoh lintas agama juga menyuarakan dukungan. Mereka menilai bahwa penghinaan terhadap simbol-simbol keagamaan, apa pun bentuknya, tidak boleh dibiarkan. “Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas menyinggung nilai-nilai sakral masyarakat,” ujar salah satu tokoh lintas iman dalam pernyataannya.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga turun tangan. Dalam pernyataannya, KPI menyebut akan memanggil manajemen Trans7 untuk memberikan klarifikasi dan melakukan peninjauan terhadap seluruh konten “Xpose Uncensored.”
Respons Trans7
Pihak Trans7 akhirnya mengeluarkan permintaan maaf resmi. Mereka mengaku tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun dan berjanji akan mengevaluasi tim produksi acara tersebut. “Kami memahami bahwa tayangan tersebut telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Ke depan, kami akan lebih berhati-hati dalam memilih materi siaran,” tulis pernyataan resmi itu.
Namun, bagi PBNU, permintaan maaf itu belum cukup. Mereka menuntut tanggung jawab yang lebih konkret, termasuk penghentian sementara program “Xpose Uncensored” dan pemberian sanksi kepada pihak internal yang terlibat.
Langkah PBNU ini dinilai sebagai bentuk konsistensi dalam menjaga nilai moral publik dan etika penyiaran nasional.
Dampak Lebih Luas untuk Dunia Media
Kasus ini membuka diskusi penting tentang peran media dalam menjaga sensitivitas budaya dan keagamaan. Banyak pengamat menilai bahwa industri hiburan kini terlalu fokus mengejar rating tanpa mempertimbangkan dampak sosial dari kontennya.
Langkah PBNU menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam terhadap pelanggaran moral yang disiarkan secara nasional. Media memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dibingkai oleh tanggung jawab dan rasa hormat terhadap keberagaman nilai di Indonesia.
Pengamat komunikasi publik, Dr. Rahmad Hidayat, menilai bahwa kasus ini dapat menjadi momentum untuk memperketat regulasi penyiaran. “Tindakan PBNU bukan hanya pembelaan terhadap pesantren, tetapi juga pengingat bagi semua media bahwa ruang siar adalah ruang publik yang sakral. Ia harus dijaga dengan penuh tanggung jawab,” katanya.
Penutup
Polemik antara PBNU dan Trans7 bukan sekadar soal tayangan yang menyinggung, melainkan refleksi dari krisis etika dalam dunia media. Ketika hiburan mulai menabrak batas nilai, maka perlu ada pihak yang berdiri tegak menjaga keseimbangan antara kebebasan dan penghormatan terhadap moralitas.
Langkah PBNU melaporkan Trans7 ke Bareskrim bukanlah tindakan emosional, melainkan bentuk komitmen menjaga kehormatan pesantren — lembaga yang telah melahirkan ulama, pemimpin bangsa, dan penjaga moralitas publik.
Kini, masyarakat menanti bagaimana proses hukum berjalan. Satu hal yang pasti, keberanian PBNU ini telah menjadi contoh bahwa menjaga marwah agama dan pendidikan adalah tanggung jawab bersama, bukan sekadar urusan satu golongan.

