
Kornet.co.id – Perkembangan teknologi finansial yang seharusnya mempermudah transaksi kini berbalik menjadi senjata bagi oknum tidak bertanggung jawab. Kasus terbaru datang dari kawasan sekitar kampus Telkom University (Tel-U) di Bandung, di mana sejumlah pedagang menjadi korban penipuan melalui QRIS palsu.
Modus yang digunakan terbilang cerdik sekaligus keji. Stiker QRIS palsu ditempel tepat di atas barcode asli milik para pedagang. Tanpa menyadari perbedaan halus itu, pelanggan yang berniat membayar justru mengirim uang ke rekening milik pelaku. Para pedagang baru sadar setelah saldo mereka tak bertambah meski warung terus ramai pengunjung.
Kronologi Kasus dan Modus Operandi
Beberapa pedagang di area Tel-U melaporkan bahwa mereka dirugikan sejak awal Oktober. Modusnya sederhana: pelaku datang berpura-pura menjadi pembeli atau sekadar lewat, lalu menempelkan stiker QRIS baru di papan pembayaran tanpa menimbulkan kecurigaan. QRIS palsu itu mencantumkan nama usaha fiktif, seperti “Banana Food” atau “Coffeeland”, yang terlihat profesional.
Karna, salah satu pedagang yang sehari-hari menjual makanan ringan di area tersebut, mengatakan bahwa uang penjualan hariannya hilang begitu saja. “Biasanya tiap sore ada notifikasi dari bank. Tapi hari itu, sampai malam, nggak ada masuk apa-apa,” ujarnya dengan nada kecewa. Setelah diperiksa, barulah ia sadar barcode aslinya sudah tertutup stiker lain.
Kerugian tiap warung diperkirakan mencapai antara Rp 400.000 hingga Rp 1 juta per hari. Meski tampak kecil dalam nominal harian, bagi pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian, jumlah itu sangat berarti.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Kasus ini tak hanya soal kerugian finansial. Dampak psikologisnya lebih dalam. Para pedagang yang sebelumnya percaya pada sistem pembayaran digital kini merasa was-was. Banyak di antara mereka memilih menonaktifkan QRIS sementara waktu dan kembali ke transaksi tunai.
Fenomena ini menimbulkan efek domino. Pembeli yang terbiasa dengan sistem cashless kini harus kembali membawa uang fisik, menyebabkan ketidaknyamanan di kedua sisi. Kepercayaan terhadap ekosistem digital pun sedikit terguncang, terutama di kalangan pedagang kecil yang baru mulai melek teknologi.
Tak hanya itu, lingkungan kampus yang biasanya menjadi contoh penerapan digitalisasi kini malah menjadi titik rawan kejahatan siber. Kejadian ini membuktikan bahwa literasi digital belum sepenuhnya seimbang antara pengguna, pelaku usaha, dan penyedia layanan finansial.
Tindakan dan Penyelidikan
Dilansir dari Detik.com Pihak kepolisian Polsek Dayeuhkolot telah menindaklanjuti laporan warga dengan membuka penyelidikan. Polisi menduga aksi ini dilakukan oleh pelaku yang memahami pola transaksi digital dan celah keamanan pada sistem QRIS manual.
Menurut keterangan aparat, pelaku kemungkinan memantau lokasi pedagang yang ramai sebelum beraksi. Beberapa kamera CCTV di sekitar lokasi bahkan ditemukan rusak atau hilang tepat pada hari kejadian, memperkuat dugaan adanya perencanaan matang.
Bank Indonesia dan penyelenggara QRIS juga telah dihubungi untuk melakukan audit sistem dan memastikan keamanan identitas merchant. Pemerintah menegaskan pentingnya edukasi bagi pedagang untuk selalu memeriksa keaslian barcode secara rutin, minimal setiap pergantian hari.
Kewaspadaan di Era Digitalisasi
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh pedagang, terutama mereka yang bergantung pada pembayaran non-tunai. QRIS memang efisien, tapi masih bergantung pada kejujuran dan kehati-hatian. Stiker yang bisa dengan mudah dicetak ulang menjadi celah besar bagi pelaku kejahatan.
Para pedagang disarankan untuk:
- Memasang barcode di tempat terlindung — jangan di area terbuka yang mudah dijangkau orang asing.
- Memeriksa fisik QRIS setiap hari, terutama sebelum dan sesudah jam operasional.
- Membandingkan nama penerima di aplikasi pembeli dengan nama usaha mereka.
- Melaporkan setiap perbedaan ke pihak bank atau penyelenggara QRIS.
Langkah sederhana itu bisa menjadi tameng awal melawan kejahatan digital yang semakin berkembang.
Teknologi: Pedang Bermata Dua
Digitalisasi ekonomi memang membawa efisiensi luar biasa, tetapi juga risiko baru yang tak bisa diabaikan. Bagi pedagang kecil, teknologi seharusnya menjadi penyokong kesejahteraan, bukan sumber ketakutan. Kasus QRIS palsu di Tel-U menjadi pengingat bahwa inovasi tanpa pengawasan bisa berubah menjadi jebakan.
Pakar keamanan siber menilai bahwa edukasi harus berjalan seiring dengan adopsi teknologi. Bukan hanya pengguna, tetapi juga penyedia layanan wajib aktif memberikan panduan pencegahan penipuan. Tanpa itu, kepercayaan terhadap sistem keuangan digital bisa menurun drastis.
Menatap ke Depan
Pihak kampus Telkom University dikabarkan turut membantu sosialisasi keamanan digital kepada para pedagang sekitar. Langkah ini diharapkan dapat mengembalikan rasa aman dan kepercayaan yang sempat terguncang.
Kasus ini juga menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memperketat regulasi dan menegakkan sanksi bagi pelaku kejahatan digital. Di tengah ambisi Indonesia menuju ekonomi tanpa uang tunai, insiden seperti ini tidak boleh dianggap sepele.
Pada akhirnya, pedagang adalah tulang punggung ekonomi rakyat. Mereka adalah wajah nyata dari digitalisasi di tingkat akar rumput. Jika mereka merasa takut dan dirugikan oleh sistem yang seharusnya membantu, maka esensi kemajuan itu perlu ditinjau ulang.
Digitalisasi tidak akan berhasil tanpa rasa aman. Dan keamanan tidak akan hadir tanpa kesadaran — baik dari pengguna, pelaku usaha, maupun pihak penyedia teknologi.
Kasus pedagang Tel-U menjadi alarm yang menggema: kemajuan teknologi harus selalu dibarengi dengan perlindungan bagi yang paling rentan.

