
Kornet.co.id – Fenomena pembatalan Nikah sepihak hanya lewat chat kembali jadi sorotan publik. Di zaman di mana komunikasi bisa dilakukan dengan sentuhan jari, justru nilai-nilai etika terancam terkikis begitu brutal. Cukup dengan satu pesan singkat, satu paragraf, beberapa kalimat yang dingin, sebuah rencana sakral bernama Nikah bisa dibatalkan begitu saja. Betapa absurd, betapa tragis, betapa menyakitkan bagi pihak yang menjadi korban keputusan semacam ini.
Tidak ada tatap muka.
Tidak ada penjelasan panjang.
Tidak ada diskusi dewasa.
Hanya sebuah kata: batal.
Selesai.
Luka Psikologis yang Tak Terlihat
Pernikahan bukan hanya soal acara sakral yang berlangsung beberapa jam. Nikah adalah proses panjang yang melibatkan persiapan, keluarga besar, waktu, tenaga, bahkan perasaan dan mental yang terikat secara mendalam. Ketika seseorang membatalkan Nikah hanya lewat chat, maka ia sedang memotong bukan hanya hubungan, tetapi juga harapan yang telah dibangun dengan detail.
Perempuan yang diputuskan sepihak bukan hanya kehilangan calon suami.
Ia kehilangan harga dirinya di hadapan keluarga besarnya.
Ia kehilangan ekspektasi masa depan yang telah ia rancang dalam diam.
Ia kehilangan rasa aman dari hubungan yang ia kira menuju ke pelaminan.
Luka seperti ini tidak sembuh hanya dalam hitungan hari.
Ternyata Menikahi Mantannya Sendiri
Lebih memilukan lagi ketika terungkap alasan di balik kata “batal” tersebut. Pria yang membatalkan Nikah sepihak itu ternyata justru Nikah dengan mantan kekasihnya sendiri. Artinya, rencana pernikahan sebelumnya hanya terjadi sementara masa lalunya masih belum ia tuntaskan. Perempuan yang menjadi korban pembatalan itu hanyalah menjadi “pengganti sementara,” atau mungkin “pelarian emosional,” sebelum pria tersebut kembali pada masa lalu yang sesungguhnya belum selesai.
Dan itu bukan hanya kejam.
Itu adalah penghianatan secara penuh.
Karena seseorang memilih memulai Nikah baru tanpa menutup masa lalu lama.
Media Sosial Mengubah Cara Orang Berkomitmen
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa era digital membuat semua hal terasa mudah. Tetapi kemudahan itu juga mengubah cara orang menghadapi tanggung jawab. Pesan sederhana di aplikasi chat kini bisa menjadi alat untuk menunda, menghindar, bahkan melarikan diri dari kewajiban moral.
Seseorang tidak perlu berani berhadapan.
Tidak perlu mempertanggung jawabkan sikapnya.
Cukup ketik, kirim, dan hilang.
Etika dalam relasi semakin rapuh.
Moralitas komitmen semakin merosot.
Nikah bukan lagi sesuatu yang diperjuangkan dengan keberanian.
Nikah menjadi sebuah proses transaksional yang bisa dibatalkan sesuka hati.
Penilaian Publik: Cinta Tanpa Tanggung Jawab
Ketika kasus ini mencuat ke permukaan, publik langsung menilai fenomena ini sebagai bukti paling jelas bahwa cinta saja tidak cukup.
Jika seseorang masih menggenggam masa lalu, maka ia tidak layak membawa seseorang ke masa depan. Karena masa depan bukan tempat pelarian. Masa depan membutuhkan ketegasan memilih dan mengakhiri apa yang memang harus diakhiri.
Penutup
Pembatalan sepihak hanya lewat chat adalah refleksi dari kemunduran cara manusia beretika dalam hubungan. Ini bukan sekadar drama. Ini realita pahit bahwa sebagian orang masih memandang sebagai sesuatu yang bisa dinego, diganti, atau dibatalkan kapan saja ketika ada opsi baru yang lebih sesuai.
Pada akhirnya, yang terluka bukan hanya hati. Tetapi harga diri, martabat, dan kewarasan dalam memaknai sebuah ikatan. Semoga ini menjadi peringatan keras bahwa sebelum masuk ke pelaminan, pastikan hati dan masa lalu sudah benar-benar tuntas. Karena salah memilih pasangan bukan hanya menunda kebahagiaan, tetapi bisa menjadikan seseorang korban dari ketidakmatangan moral orang lain.

