
kornet.co.id – Belakangan, sebuah isu mengemuka seolah membenturkan semangat kebangsaan dengan kerangka hukum komersial: perdebatan mengenai pembayaran royalti lagu nasional. Hal tersebut membuat gempita stadion yang membahana, puluhan ribu suara yang menyatu dalam satu irama, dan bendera Merah Putih yang berkibar gagah menjadi ternoda. Momen-momen ini menjadi pemandangan yang tak terpisahkan dari setiap laga Timnas Indonesia. Di tengah semangat nasionalisme yang membara itu, lagu-lagu perjuangan seperti “Tanah Airku” atau “Bagimu Negeri” seringkali menjadi pengiring, membakar semangat para pemain di lapangan dan menyatukan hati para suporter.
Polemik ini mencuat ketika Lembaga Manajemen Kolektif Karya Cipta Indonesia (LMK KCI) menyatakan bahwa setiap penggunaan lagu secara komersial, termasuk dalam pertandingan olahraga yang menjual tiket, wajib membayar royalti lagu kepada pencipta atau ahli warisnya. Pernyataan ini sontak memicu reaksi keras dari publik. Pertanyaan mendasar pun muncul: haruskah semangat nasionalisme yang diekspresikan melalui lagu di sebuah ajang olahraga tunduk pada aturan komersial yang kaku?

Hukum Hak Cipta vs. Sentimen Kebangsaan
Dilansir viva.co.id, untuk memahami akar masalah ini, kita perlu melihat pada landasan hukumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam UU tersebut, diatur bahwa setiap individu atau entitas yang menggunakan karya cipta orang lain untuk tujuan komersial—dikenal sebagai public performance—wajib memberikan imbalan ekonomi atau royalti. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), seperti KCI, bertugas untuk mengumpulkan dan mendistribusikan royalti tersebut kepada para pencipta lagu, komposer, atau pemegang hak cipta lainnya.
Tujuan dari regulasi ini sangat mulia: untuk melindungi hak ekonomi para seniman dan memastikan mereka mendapatkan apresiasi yang layak atas karya-karya mereka. Dalam konteks konser musik atau pemutaran lagu di kafe dan pusat perbelanjaan, aturan ini terasa logis dan adil. Namun, ketika diterapkan pada pertandingan Timnas Garuda, konteksnya menjadi jauh lebih kompleks.
Pertandingan sepak bola tim nasional, meskipun bersifat komersial karena adanya penjualan tiket, sponsor, dan hak siar, juga merupakan sebuah panggung representasi negara. Lagu-lagu seperti “Tanah Airku” ciptaan Ibu Soed atau “Bagimu Negeri” ciptaan Kusbini tidak diputar sebagai hiburan semata layaknya musik di sebuah kafe. Lagu-lagu tersebut dinyanyikan secara kolektif oleh suporter sebagai bentuk dukungan, doa, dan peneguhan identitas kebangsaan. Di sinilah letak benturan antara interpretasi hukum yang kaku dan makna sentimental serta fungsi sosial dari sebuah lagu nasional. Publik menilai, menagih royalti lagu untuk momen sakral seperti ini sama saja dengan mereduksi nilai luhur sebuah lagu perjuangan menjadi sekadar produk komersial.
Tiga Suara dalam Satu Arena
Dalam polemik ini, setidaknya ada tiga pihak utama yang suaranya perlu didengar: LMK KCI sebagai penegak aturan, ahli waris pencipta lagu sebagai pemilik hak, dan publik (termasuk PSSI dan suporter) sebagai pengguna.
1. LMK KCI dan Argumen Penegakan Hukum
Dari sudut pandang LMK KCI, sikap mereka didasarkan murni pada pelaksanaan amanat undang-undang. Mereka berargumen bahwa PSSI, sebagai penyelenggara acara, merupakan entitas komersial yang menarik keuntungan dari pertandingan. Oleh karena itu, penggunaan lagu apa pun dalam acara tersebut, tanpa memandang genrenya, masuk dalam kategori penggunaan komersial yang wajib membayar royalti lagu. LMK KCI menegaskan bahwa royalti lagu ini pada akhirnya akan kembali kepada para pencipta lagu dan ahli warisnya, yang mana ini adalah bentuk keadilan dan penghargaan atas karya intelektual. Sikap ini, meskipun secara legal dapat dibenarkan, dianggap kurang peka terhadap konteks sosial dan nasionalisme oleh sebagian besar masyarakat.
2. Ahli Waris Ibu Soed dan Sikap Restu Tanpa Syarat
Menariknya, suara yang paling ditunggu-tunggu justru datang dari pihak yang seharusnya menerima manfaat ekonomi dari royalti tersebut: para ahli waris pencipta lagu. Dalam kasus lagu “Tanah Airku”, pihak keluarga Saridjah Niung atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Soed, memberikan pernyataan yang menyejukkan. Melalui berbagai media, mereka secara tegas menyatakan tidak akan menuntut royalti apa pun jika lagu tersebut digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara, termasuk oleh Timnas Indonesia.
Bagi mereka, semangat dan warisan Ibu Soed adalah dedikasi untuk Indonesia. Melihat “Tanah Airku” dinyanyikan oleh ribuan suporter untuk membakar semangat para pahlawan olahraga bangsa adalah sebuah kehormatan yang tidak bisa dinilai dengan uang. Sikap ini menunjukkan adanya diskoneksi antara keinginan LMK untuk menegakkan aturan secara general dan kehendak spesifik dari pemegang hak cipta itu sendiri. Restu dari ahli waris ini menjadi antitesis dari klaim komersial LMK KCI dan memperkuat argumen publik bahwa ada nilai-nilai yang lebih tinggi dari sekadar transaksi ekonomi.
3. Publik, Suporter, dan PSSI: Suara Nasionalisme
Bagi publik dan suporter, isu ini terasa janggal dan tidak masuk akal. Mereka merasa bahwa menyanyikan lagu nasional adalah hak dan ekspresi kecintaan pada negara. Membayar untuk menyanyikannya terasa seperti sebuah ironi. PSSI sebagai penyelenggara berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka harus patuh pada hukum yang berlaku untuk menghindari sanksi. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan tekanan publik dan juga memahami nilai sakral dari momen menyanyikan lagu kebangsaan bersama suporter. Sikap diam PSSI bisa jadi merupakan cerminan dari kebingungan dalam menavigasi dilema antara kewajiban hukum dan sentimen publik yang kuat.
Harmonisasi Aturan dan Nurani

Polemik ini adalah sebuah cermin bahwa hukum terkadang membutuhkan interpretasi yang bijaksana dan peka terhadap konteks. Aturan yang dibuat untuk melindungi satu nilai (hak ekonomi pencipta) tidak seharusnya menabrak nilai lain yang sama pentingnya (semangat nasionalisme). Ada beberapa jalan keluar yang bisa dipertimbangkan untuk menyelesaikan permasalahan ini secara adil dan permanen.
Pertama, dialog konstruktif antara semua pihak adalah langkah yang paling mendesak. PSSI, LMK KCI, perwakilan ahli waris para komponis, serta pemerintah (melalui Kemenpora atau Kemenkumham) perlu duduk bersama. Tujuannya adalah untuk mencari pemahaman bersama mengenai batasan antara penggunaan komersial murni dan penggunaan dalam konteks kepentingan nasional.
Kedua, perlunya revisi atau penambahan klausul khusus dalam peraturan turunan UU Hak Cipta. Pemerintah dapat membuat pengecualian (eksepsi) yang jelas untuk penggunaan lagu-lagu tertentu (yang dikategorikan sebagai lagu nasional atau lagu perjuangan) dalam kegiatan kenegaraan atau acara yang merepresentasikan kepentingan nasional. Pengecualian ini bisa berlaku meskipun acara tersebut memiliki unsur komersial, selama penggunaan lagunya bertujuan untuk membangkitkan semangat kebangsaan, bukan sebagai produk utama yang dijual.
Ketiga, diskresi dari LMK. Sembari menunggu perubahan regulasi, LMK sebagai operator bisa menerapkan kebijakan diskresioner. Mereka dapat membuat “daftar putih” (whitelist) untuk acara-acara tertentu seperti pertandingan tim nasional, upacara kenegaraan, atau kegiatan sosial berskala besar yang dianggap non-komersial dari segi tujuan penggunaan musiknya. Langkah ini akan menunjukkan itikad baik dan sensitivitas LMK terhadap sentimen publik.
Pada akhirnya, semangat Timnas Garuda di lapangan adalah refleksi dari semangat seluruh bangsa. Lagu-lagu nasional adalah bahan bakarnya. Menjaga agar api semangat ini terus menyala adalah tugas kita bersama. Royalti lagu memang penting untuk kesejahteraan para seniman, tetapi meletakkan label harga pada setiap jengkal ekspresi nasionalisme adalah sebuah kekeliruan. Sudah saatnya aturan dibuat untuk melayani semangat zaman, bukan sebaliknya, agar harmoni antara hak cipta dan rasa cinta pada tanah air dapat terus terjaga.

