
Kornet.co.id – Peristiwa pengusiran wartawan oleh seorang Sekdes ketika ditanya mengenai penggunaan Dana Desa kembali memantik perbincangan publik tentang integritas aparatur tingkat akar rumput. Bagaimana mungkin, seorang perangkat desa yang memiliki mandat untuk melayani masyarakat, justru memperlihatkan sikap defensif, emosional, bahkan terkesan anti transparansi saat dihadapkan pada pertanyaan umum yang sejatinya wajar disampaikan oleh awak media. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, komunikasi publik pejabat seharusnya semakin profesional dan dewasa. Bukan malah menyingkirkan jurnalis secara kasar hanya karena khawatir isu tertentu akan terangkat ke permukaan.
Fenomena pengusiran wartawan oleh Sekdes ini bukan pertama terjadi. Tetapi kasus terbaru ini terasa begitu frontal karena direkam dan viral di media sosial. Pada video yang beredar terlihat jelas bagaimana nada suara tinggi, gestur tubuh yang agresif, dan kalimat mengarah pada perintah “pergi” keluar dari kantor desa, diucapkan langsung oleh sosok perangkat desa tersebut. Padahal wartawan datang bukan untuk memprovokasi. Mereka datang untuk meminta klarifikasi, mengkonfirmasi, menjelaskan, dan menghimpun informasi dari narasumber yang seharusnya memiliki posisi strategis untuk memberikan penjelasan publik terkait pengelolaan Dana Desa yang merupakan uang negara.
Masyarakat Kini Semakin Kritis
Zaman telah berubah. Masyarakat sudah tidak lagi pasif menerima narasi tunggal tentang pengelolaan anggaran publik. Pertanyaan demi pertanyaan akan terus muncul selama penyelenggara pemerintahan desa masih menjadikan jabatan sebagai perlindungan personal, bukan sebagai amanah publik. Dana Desa bukan uang pribadi aparatur. Dana Desa adalah anggaran negara yang harus dipertanggungjawabkan. Publik berhak bertanya. Wartawan juga berhak menggali informasi. Karena yang mereka tanyakan bukan gosip. Yang mereka cari adalah fakta.
Ketika seorang Sekdes merasa alergi pada pertanyaan terkait laporan Dana Desa, publik pun bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Karena dalam situasi ideal, pejabat publik harusnya tidak panik saat ditanya. Pejabat publik harus punya data, punya dokumen, punya penjelasan. Jika pengelolaan baik, kenapa harus takut? Jika dananya dialokasikan tepat sasaran, mengapa harus mengusir media? Ketakutan, penolakan, dan sikap agresif seringkali justru menjadi indikasi bahwa ada sesuatu yang berusaha ditutupi.
Pejabat Desa Tidak Boleh Anti Koreksi
Dilansir dari Suarapancasila.id Satu hal mendasar yang perlu dipahami adalah bahwa wartawan itu bukan musuh aparatur negara. Wartawan adalah bagian dari sistem kontrol publik. Pers adalah tiang demokrasi. Ketika jurnalis bertanya, ketika media meminta data, ketika awak pers melakukan verifikasi, itu bukan ancaman. Itu proses check and balance. Karena tanpa tekanan publik, tanpa inspeksi media, tanpa sorotan independen dari luar sistem, potensi penyelewengan sangat mudah tumbuh di dalam sistem yang tertutup. Apalagi pengelolaan Dana Desa jumlahnya sangat besar dari tahun ke tahun.
Maka, sikap seorang Sekdes yang anti kritik, anti koreksi, dan anti dialog, bukan saja tidak beretika, tetapi juga memperlihatkan ketidakmampuan menjalankan fungsi representasi publik secara benar. Jabatan desa bukan panggung kekuasaan, tetapi panggung pelayanan. Ketika seorang aparat desa memarahi wartawan hanya karena ditanya, itu berarti ia tidak memiliki kesiapan mental untuk duduk di jabatan publik.
Perlu Edukasi Politik Dasar Pada Aparatur Desa
Kasus Sekdes ini menjadi momentum evaluasi nasional tentang bagaimana aparatur desa selain diberi pelatihan administrasi, juga harus diberi pendidikan etika komunikasi publik. Mengelola desa bukan hanya mengurus berkas, tanda tangan, dan proposal. Mengelola desa berarti juga mampu terbuka, siap diperiksa, siap dipertanyakan, dan siap mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang negara yang dihabiskan. Pejabat desa bukan penguasa yang tidak boleh ditanya. Pejabat desa adalah abdi publik yang wajib menjelaskan.
Ketika Sekdes mengusir wartawan, publik melihat sinyal jelas bahwa ada mentalitas feodal yang masih tersisa. Mentalitas merasa lebih tinggi dari rakyat. Mentalitas merasa boleh bicara seenaknya kepada siapapun. Padahal hari ini struktur sosial sudah berubah. Rakyat jauh lebih kritis. Media jauh lebih tajam. Semua hal terekam. Semua bisa viral. Semua bisa dibuka.
Penutup
Kasus pengusiran wartawan oleh seorang Sekdes bukan sekadar kejadian individual yang terjebak temperamen sesaat. Ia adalah cermin bahwa beberapa aparatur di tingkat desa masih belum memahami betul inti dari jabatan publik. Kekuasaan bukan privilese untuk memarahi orang. Kekuasaan adalah mandat untuk melayani.
Di era media sosial, semua tindakan pejabat, sekecil apapun, dapat dilihat dan dinilai publik. Ke depan, jika aparatur desa tidak siap transparan, tidak siap ditanya, tidak siap diawasi, maka mereka tidak layak mengelola Dana Desa. Karena uang negara, uang publik, tidak boleh berada di tangan mereka yang anti terbuka. Transparansi bukan pilihan. Transparansi adalah kewajiban mutlak. Dan wartawan yang datang bertanya, bukan musuh. Mereka adalah elemen yang menjaga integritas agar demokrasi tetap berjalan sehat.

