
Kabar Duka dari Negeri Tetangga
Kabar mengejutkan datang dari luar negeri — 7 WNI dari Sulawesi Utara diduga alami hal tak menyenangkan di Kamboja! Ketujuh warga asal Tondano ini disebut menjadi korban sindikat perdagangan manusia di ibu kota Phnom Penh. Kasus ini menimbulkan keprihatinan mendalam, terutama bagi keluarga yang kini berjuang keras mencari pertolongan.
Informasi mengenai dugaan penyekapan dan eksploitasi ini pertama kali disampaikan oleh pihak keluarga salah satu korban. Mereka berharap pemerintah Indonesia, termasuk KBRI Phnom Penh, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), hingga Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, segera mengambil tindakan nyata.
Laporan Sudah Disampaikan, Tapi Belum Ada Tanggapan
Dilansir Tiktok @lambekawanua, Menurut pengakuan keluarga, laporan resmi sebenarnya telah dikirimkan ke KBRI dan Kemenlu lebih dari seminggu lalu. Sayangnya, hingga saat ini, belum ada respons atau tindakan konkret yang diterima. Kondisi tersebut membuat keluarga semakin cemas karena komunikasi dengan para korban pun semakin sulit dilakukan.
“Sudah lebih dari satu minggu kami menunggu kabar dari Kemenlu maupun KBRI, tapi belum ada kepastian. Kami hanya ingin mereka segera diselamatkan,” ujar salah satu anggota keluarga dengan nada haru.
Kondisi Kerja Tidak Manusiawi
Berdasarkan informasi yang diterima keluarga, para 7 WNI dari Sulawesi Utara itu bekerja di sebuah perusahaan di Phnom Penh dengan kondisi yang sangat buruk. Mereka tidak diperbolehkan keluar area kerja, ponsel hanya boleh digunakan pada waktu tertentu, dan yang lebih parah — paspor mereka ditahan oleh pihak perusahaan.
Para korban juga mengaku harus menjalani jam kerja ekstrem. Setiap hari mereka mulai bekerja pukul 09.00 pagi hingga 02.00 dini hari, bahkan bisa diperpanjang sampai 04.00–05.00 pagi jika target belum tercapai. Bila terlambat masuk kerja meski hanya satu menit, korban disebut dicambuk atau disetrum tanpa alasan jelas.
Tak hanya itu, setelah kontrak kerja selesai, mereka justru “dibeli” oleh perusahaan lain dan tetap tidak diberi izin untuk pulang ke Indonesia. Area tempat mereka bekerja dijaga ketat oleh petugas keamanan berlapis sehingga mustahil untuk kabur.
Keluarga Dapat Ancaman dan Permintaan Tebusan
Keluarga korban di Tondano juga menerima kabar mencengangkan bahwa ada beberapa WNI lain di lokasi tersebut yang dimintai uang tebusan hingga Rp30 juta agar dapat dilepaskan. Dugaan kuat, para pekerja ini menjadi korban jaringan perdagangan manusia berkedok perusahaan luar negeri.
“Sudah kami coba semua cara agar mereka bisa pulang, tapi belum ada hasil. Kami sangat khawatir dengan keselamatan mereka,” kata salah satu kerabat korban dengan suara bergetar.
Permintaan Mendesak untuk Pemerintah
Situasi ini membuat keluarga besar para korban di Sulawesi Utara semakin terpukul. Mereka berharap pemerintah pusat dan daerah, terutama Gubernur Sulawesi Utara, bisa segera turun tangan. Dukungan publik juga sangat diharapkan agar kasus ini mendapat perhatian luas.
“Kami mohon bantuannya agar kasus ini bisa viral. Hanya itu cara kami agar pemerintah mendengar dan bertindak cepat. Kami cuma ingin mereka pulang dengan selamat,” pinta salah satu keluarga korban.
Seruan Kepedulian dan Harapan
Kasus 7 WNI dari Sulawesi Utara yang diduga alami hal tak menyenangkan di Kamboja menjadi pengingat bahwa ancaman perdagangan manusia masih nyata dan berbahaya. Banyak warga tergiur oleh tawaran kerja di luar negeri tanpa tahu risiko yang menanti di baliknya.
Masyarakat diimbau untuk lebih waspada terhadap tawaran kerja luar negeri yang tidak jelas asal-usulnya. Pastikan semua dokumen dan perusahaan penyalur telah terdaftar secara resmi di Kemenlu atau BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia).
Keluarga korban kini hanya bisa berharap dan berdoa agar ketujuh WNI asal Tondano ini segera dipulangkan dalam keadaan selamat. Mereka juga meminta seluruh masyarakat Indonesia ikut menyebarkan informasi ini, agar tekanan publik mendorong pihak berwenang bertindak lebih cepat.
Kesimpulan
Kasus tragis 7 WNI dari Sulawesi Utara diduga alami hal tak menyenangkan di Kamboja menunjukkan betapa pentingnya pengawasan terhadap tenaga kerja migran. Semoga pemerintah segera merespons dan mengevakuasi para korban dari kondisi yang tidak manusiawi ini, sekaligus menindak tegas jaringan pelaku di baliknya.

