
Di tengah gegap gempita perayaan HUT ke-80 RI, masyarakat justru dibuat terkejut dengan kabar yang tak kalah menghebohkan. Mantan Ketua DPR RI sekaligus eks Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto alias Setnov, resmi bebas bersyarat pada 16 Agustus 2025 dari Lapas Sukamiskin, Bandung.
Banyak kalangan menilai momen ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, Presiden Prabowo Subianto sedang gencar membangun citra pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, namun di sisi lain publik mendapati kabar pembebasan sosok yang pernah menjadi ikon besar kasus korupsi e-KTP.
Reaksi Publik dan Partai Golkar

Kabar ini awalnya tidak mendapat publikasi luas, sehingga menimbulkan kejutan di masyarakat. Namun, Partai Politik Golkar segera memberi klarifikasi.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, menegaskan bahwa bebas bersyarat yang diterima Setnov sepenuhnya sesuai hukum yang berlaku. Ia menyampaikan harapan agar rekannya itu bisa menjadi pribadi yang lebih baik setelah menjalani masa hukuman.
“Pak Novanto sudah menjalani proses pemasyarakatan. InsyaAllah ke depannya beliau bisa lebih baik,” ujar Sarmuji.
Pernyataan ini tentu tidak meredam kekecewaan publik sepenuhnya. Sebagian masyarakat menilai kebebasan Setya Novanto di tengah euforia kemerdekaan justru mencederai rasa keadilan.
Detail Hukuman Setya Novanto

Setnov merupakan terpidana kasus korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara lebih dari Rp2,3 triliun.
- Awalnya divonis 15 tahun penjara, lalu berkurang menjadi 12,5 tahun setelah Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK).
- Dijatuhi denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.
- Wajib membayar uang pengganti 7,3 juta dolar AS, dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan ke KPK.
- Hak politiknya dicabut selama 2,5 tahun setelah bebas murni (baru berlaku pada 2029).
Kementerian Hukum dan HAM melalui Ditjen Pemasyarakatan menegaskan bahwa pembebasan bersyarat ini diberikan karena Setnov memenuhi syarat: menjalani dua pertiga masa hukuman, berkelakuan baik, melunasi denda, dan uang pengganti.
Tetap dalam Pengawasan
Meski sudah menghirup udara bebas, Setya Novanto bukan berarti benar-benar lepas dari jerat hukum.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Mashudi, menegaskan bahwa Setya Novanto masih berkewajiban lapor hingga 2029. Jika terbukti melanggar aturan, hak pembebasannya dapat dicabut sewaktu-waktu.
Total, Setnov juga mendapat remisi 28 bulan 15 hari, sehingga mempercepat waktunya untuk memperoleh status bebas bersyarat.
Jejak Kasus Korupsi e-KTP
Kasus e-KTP merupakan salah satu mega skandal terbesar di Indonesia. Proyek nasional dengan nilai anggaran Rp5,9 triliun ini ternyata penuh manipulasi, penggelembungan dana, dan melibatkan banyak pihak.
Dari hasil penyidikan KPK, ditemukan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun. Nama Setya Novanto disebut memiliki peran penting dalam pengaturan anggaran bersama sejumlah pihak, termasuk pengusaha dan anggota DPR kala itu.
Beberapa fakta penting:
- Delapan tokoh sudah divonis bersalah, termasuk Setya Novanto, Irman, Sugiharto, dan Markus Nari.
- Sejumlah pengusaha juga terseret, seperti Andi Naragong dan Made Oka Masagung.
- Proses pengadilan menunjukkan adanya praktik bagi-bagi fee hingga ratusan miliar rupiah kepada pejabat dan anggota DPR.
Kasus ini bahkan masih terus bergulir hingga kini, dengan KPK menangkap tersangka baru pada 2022 lalu.
Drama di Balik Penangkapan
Nama Setya Novanto tidak lepas dari drama panjang saat proses hukum. Pada 2017, ia sempat mangkir berkali-kali dari panggilan KPK dengan berbagai alasan, mulai dari sakit hingga menunggu praperadilan.
Bahkan publik masih ingat momen kontroversial saat ia dikabarkan mengalami kecelakaan mobil setelah disebut-sebut menghindari penjemputan paksa KPK. Insiden ini sempat mengundang cemooh publik karena dianggap janggal.
Akhirnya, setelah melalui berbagai drama hukum, Setnov resmi divonis bersalah pada April 2018.
Hukuman bagi Pihak Lain
Selain Setnov, beberapa pihak lain juga mendapat hukuman dalam kasus e-KTP:
- Sugiharto: 5 tahun penjara.
- Irman: 7 tahun.
- Andi Narogong: 8 tahun.
- Anang Sugiana Sudiharjo: 6 tahun.
- Made Oka Masagung: 10 tahun.
- Irvanto Hendra Pambudi Cahyo: 10 tahun.
- Markus Nari: 6 tahun.
Kasus ini bahkan melahirkan perkara turunan, seperti pemberian keterangan palsu hingga upaya menghalangi penyidikan.
Pro-Kontra di Tengah Masyarakat
Kabar Heboh! Setya Novanto Bebas Bersyarat saat HUT ke-80 RI tentu memunculkan dua sisi pandangan.
- Pihak pro berargumen bahwa hukum harus tetap dijalankan apa adanya, termasuk hak seorang narapidana untuk memperoleh pembebasan bersyarat jika memenuhi syarat.
- Pihak kontra menilai kebebasan ini merusak semangat pemberantasan korupsi dan bisa menurunkan kepercayaan masyarakat pada hukum.
Penutup
Pembebasan bersyarat Setya Novanto di momen kemerdekaan menjadi catatan penting bagi perjalanan hukum Indonesia. Meski secara formal sudah sesuai prosedur, publik tetap menaruh kecurigaan terhadap konsistensi pemberantasan korupsi.
Bagi masyarakat, Heboh! Setya Novanto Bebas Bersyarat saat HUT ke-80 RI bukan sekadar kabar hukum, melainkan refleksi atas perjalanan bangsa dalam menghadapi korupsi. Peristiwa ini mengingatkan bahwa perjuangan menuju Indonesia bersih dari praktik koruptif masih panjang, dan setiap warga negara perlu mengambil bagian dalam pengawasannya.

