
Kornet.co.id – Pemandangan spektakuler sempat viral di berbagai platform media sosial. Tumpukan uang dalam jumlah fantastis—dikenal publik sebagai “Gunung Duit”—ditampilkan oleh Kejaksaan Agung saat penyerahan aset rampasan hasil tindak pidana korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO). Nilainya mencapai Rp13 triliun, jumlah yang luar biasa besar bahkan dalam konteks keuangan negara. Namun, tidak semua uang tersebut ditampilkan di hadapan publik.
Jaksa Agung ST Burhanuddin kemudian memberikan penjelasan yang menenangkan sekaligus membuka tabir di balik pertanyaan besar publik: mengapa hanya sekitar Rp2,4 triliun yang diperlihatkan secara fisik, bukan seluruh Rp13 triliun seperti yang diberitakan?
Penyerahan Uang Rampasan Bersejarah
Kejaksaan Agung menggelar acara penyerahan uang rampasan negara pada Senin, 20 Oktober 2025. Kegiatan itu merupakan tindak lanjut dari hasil penyelamatan keuangan negara dalam kasus korupsi fasilitas ekspor CPO yang menyeret sejumlah pelaku besar di industri sawit.
Acara berlangsung megah dan penuh sorotan. Puluhan karung dan peti uang tunai dipajang rapi di depan media. Kamera menangkap setiap sudutnya, memperlihatkan tumpukan uang pecahan Rp100 ribu yang menjulang tinggi. Banyak warganet menjuluki pemandangan itu sebagai “Gunung Duit” — simbol keberhasilan penegakan hukum terhadap kejahatan ekonomi berskala besar.
Namun, hanya Rp2,4 triliun yang tampil di lokasi. Sisanya, seperti dijelaskan oleh Jaksa Agung, sudah diamankan dalam bentuk saldo rekening yang tersimpan di bank negara.
Alasan di Balik Tidak Ditampilkannya Seluruh Uang
Dilansir dari Detik.com Dalam keterangannya kepada media, Jaksa Agung menjelaskan bahwa alasan utama tidak ditampilkannya seluruh uang tersebut adalah keterbatasan ruang dan faktor keamanan. Menurutnya, tidak mungkin membawa dan menata uang tunai sebanyak itu di satu tempat hanya untuk tujuan seremonial.
“Bayangkan, Rp13 triliun jika seluruhnya dalam bentuk uang kertas, beratnya bisa mencapai puluhan ton. Selain tidak efisien, risikonya juga besar dari sisi keamanan maupun logistik,” ujar ST Burhanuddin.
Ia menegaskan bahwa jumlah uang yang diserahkan ke negara tidak berkurang sedikit pun. Seluruh hasil rampasan telah melalui proses verifikasi dan pencatatan yang ketat. Bahkan, untuk memastikan transparansi, seluruh data transfer ke kas negara bisa diakses oleh lembaga auditor terkait.
Pernyataan ini sekaligus menepis spekulasi liar yang sempat beredar di media sosial bahwa hanya sebagian uang yang benar-benar diserahkan.
Transparansi dan Akuntabilitas
Langkah Jaksa Agung menunjukkan komitmen kuat terhadap transparansi publik. Dalam konteks penegakan hukum, menampilkan uang rampasan secara terbuka bukan sekadar simbol, melainkan bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat bahwa hasil kerja penegak hukum benar-benar nyata.
Namun, transparansi juga harus berjalan beriringan dengan kehati-hatian. Menumpuk uang dalam jumlah triliunan rupiah di satu lokasi bisa memunculkan risiko keamanan yang tidak sepadan dengan manfaat simboliknya. Karena itu, sebagian besar uang disimpan secara elektronik di rekening penampungan negara, sesuai dengan prosedur administrasi keuangan yang berlaku.
Purbaya menegaskan bahwa pendekatan ini merupakan keseimbangan antara aspek keamanan dan kebutuhan publik untuk melihat bukti konkret. “Masyarakat berhak tahu hasil kerja kejaksaan, tapi kami juga wajib menjaga agar uang negara tetap aman,” jelasnya.
Respons Publik
Tampilan “Gunung Duit” itu segera menyebar luas di dunia maya. Banyak masyarakat mengungkapkan kekaguman atas hasil kerja Kejaksaan Agung yang berhasil mengembalikan dana negara dalam jumlah masif. Namun, sebagian netizen juga mempertanyakan kenapa hanya sebagian uang yang dipamerkan.
Setelah klarifikasi resmi dari Jaksa Agung, persepsi publik pun berangsur berubah. Mayoritas menilai langkah tersebut bijak, karena menunjukkan profesionalisme dalam pengelolaan aset negara.
Beberapa pengamat ekonomi bahkan menilai, aksi ini memberi efek psikologis yang positif terhadap kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Bahwa kerja keras pemberantasan korupsi bukan hanya narasi, tetapi menghasilkan dampak konkret yang dapat dilihat dan dihitung nilainya.
Makna Simbolik dari “Gunung Duit”
Meski hanya sebagian uang yang ditampilkan, makna simbolik dari pemandangan itu sangat kuat. Ia menjadi representasi visual dari hasil perjuangan panjang melawan korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan kekuasaan di sektor ekonomi strategis.
Uang yang ditampilkan bukan sekadar kertas bernilai, melainkan bukti bahwa negara mampu merebut kembali hak rakyat yang selama ini dikorupsi. Dalam konteks komunikasi publik, tindakan ini membangun citra positif bahwa Kejaksaan tidak hanya berteori tentang keadilan, tetapi juga mewujudkannya secara nyata.
Jaksa Agung memahami betul nilai dari simbol semacam itu. Dalam beberapa kesempatan, ia menyebut bahwa setiap rupiah yang berhasil dikembalikan ke kas negara adalah kemenangan moral bagi bangsa.
Refleksi atas Peran Kejaksaan
Kasus CPO menjadi salah satu perkara besar yang menegaskan kemampuan Kejaksaan dalam membongkar kejahatan ekonomi tingkat tinggi. Penegakan hukum di sektor ini sangat krusial, mengingat dampaknya yang luas terhadap perekonomian nasional dan stabilitas harga komoditas.
Keberhasilan mengembalikan dana Rp13 triliun adalah bukti nyata dari sinergi antara penyidik, auditor, dan otoritas keuangan. Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kejaksaan terus memperkuat fungsi pengawasan serta menegakkan prinsip bahwa setiap kejahatan terhadap keuangan negara akan ditindak tanpa pandang bulu.
Penutup
Kontroversi seputar “Gunung Duit” akhirnya mereda setelah penjelasan resmi diberikan. Publik kini memahami bahwa langkah Kejaksaan bukan sekadar pertunjukan, melainkan manifestasi tanggung jawab yang dikemas dengan penuh perhitungan.
Jaksa Agung ST Burhanuddin berhasil menyeimbangkan antara transparansi dan keamanan, dua hal yang kerap bertentangan dalam praktik birokrasi.
Di balik tumpukan uang yang menggunung itu, tersimpan pesan moral yang jauh lebih besar: bahwa hukum masih berfungsi, negara masih berdaulat atas asetnya, dan keadilan — meski kadang datang lambat — tetap akan menemukan jalannya.

