
kornet.co.id – Sebuah kejutan pahit menyapa warga Kota Cirebon di pertengahan tahun 2025. Tanpa sosialisasi yang memadai, banyak dari mereka mendapati tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) melonjak secara drastis, dengan beberapa kasus dilaporkan Tagihan PBB Meroket hingga 1.000%. Angka yang semula hanya jutaan rupiah tiba-tiba membengkak menjadi puluhan juta, memicu gelombang kepanikan, kemarahan, dan protes yang meluas di seluruh penjuru kota.
Fenomena ini sontak menjadi sorotan utama, mengubah suasana kondusif Kota Udang menjadi arena perdebatan sengit antara masyarakat dan pemerintah. Warga merasa “dicekik” oleh kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kondisi ekonomi mereka, sementara pemerintah berdalih bahwa penyesuaian ini merupakan langkah yang tak terhindarkan. Artikel ini akan mengupas secara mendalam latar belakang permasalahan, pihak-pihak yang terlibat dalam pusaran konflik, serta mencari kemungkinan jalan keluar yang adil bagi semua.
Bom Waktu Bernama NJOP
Dilansir dari CNN Indonesia, akar dari lonjakan PBB yang fantastis ini terletak pada satu komponen utama: Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). PBB dihitung berdasarkan persentase tertentu dari NJOP, yang idealnya mencerminkan harga pasar properti saat ini. Namun, di Kota Cirebon, NJOP tidak pernah mengalami penyesuaian selama lebih dari satu dekade. Akibatnya, nilai yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi sangat usang dan tidak lagi relevan dengan kondisi riil harga tanah dan bangunan.
Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon, dalam upaya untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menyesuaikan regulasi, akhirnya mengambil langkah untuk memperbarui NJOP sesuai harga pasar terkini. Secara teknis, kebijakan ini dapat dibenarkan. Namun, yang menjadi masalah besar adalah eksekusinya. Kenaikan yang diterapkan secara tiba-tiba tanpa periode adaptasi atau sosialisasi yang efektif menciptakan efek kejut yang luar biasa.
Bayangkan seorang warga yang selama bertahun-tahun membayar PBB sebesar Rp6,5 juta, tiba-tiba dihadapkan pada tagihan sebesar Rp65 juta. Lonjakan sepuluh kali lipat ini bukan lagi sekadar penyesuaian, melainkan sebuah beban finansial yang mampu mengguncang stabilitas ekonomi sebuah keluarga. Keluhan ini tidak hanya datang dari kalangan pengusaha atau pemilik properti komersial, tetapi juga dari warga biasa yang menempati rumah warisan turun-temurun. Mereka merasa dihukum karena memiliki aset di tanah kelahiran sendiri. Ketidaksiapan warga dan minimnya komunikasi dari pemerintah menjadi kombinasi pemicu ledakan sosial yang tak terhindarkan.

Pusaran Konflik Kebijakan
Dalam polemik ini, terdapat beberapa aktor kunci yang memiliki peran dan kepentingan masing-masing, menciptakan dinamika konflik yang kompleks.
- Warga Kota Cirebon: Sebagai pihak yang paling terdampak, posisi warga sangat jelas. Mereka merasa menjadi korban kebijakan yang serampangan dan tidak manusiawi. Melalui berbagai platform, mulai dari media sosial hingga aksi unjuk rasa, mereka menyuarakan tuntutan yang sama: pembatalan atau setidaknya peninjauan ulang kenaikan PBB secara drastis. Mereka menyoroti ironi di mana pemerintah seharusnya melayani masyarakat, bukan justru membebani mereka secara tidak wajar. Kekompakan warga semakin terlihat saat mereka mulai melirik strategi advokasi yang berhasil dilakukan di daerah lain, seperti di Kabupaten Pati, sebagai amunisi baru untuk melawan kebijakan ini.
- Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon: Di sisi lain, Pemkot berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan PAD guna membiayai pembangunan dan layanan publik. Penyesuaian NJOP adalah salah satu instrumen paling logis untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, mereka jelas gagal dalam mengantisipasi dan memitigasi dampak sosial dari kebijakan ini. Alih-alih mendapatkan dukungan, Pemkot justru berhadapan dengan kemarahan publik. Pernyataan resmi dari Pemkot yang cenderung defensif, seperti membantah adanya kenaikan 1.000% secara umum dan menyatakan bahwa kebijakan ini sedang dalam tahap pengkajian, seolah menunjukkan kurangnya persiapan dan strategi komunikasi yang matang.
- Pj Wali Kota Cirebon: Sebagai pemimpin eksekutif sementara, Pj Wali Kota menjadi wajah utama pemerintah dalam menghadapi krisis ini. Pernyataannya yang menyebut bahwa kebijakan ini merupakan warisan dari era kepemimpinan sebelumnya menuai kritik. Meskipun mungkin ada benarnya secara kronologis, pernyataan tersebut dianggap sebagai upaya melempar tanggung jawab dan tidak menyelesaikan akar permasalahan. Publik menuntut solusi konkret, bukan sekadar klarifikasi historis tentang siapa yang memulai kebijakan tersebut.
- DPRD Kota Cirebon: Lembaga legislatif ini memegang peran krusial sebagai pengawas kebijakan eksekutif dan penyambung lidah rakyat. DPRD diharapkan dapat menjadi mediator yang efektif antara warga dan Pemkot. Mereka memiliki wewenang untuk memanggil pihak Pemkot, meminta penjelasan rinci, dan mendorong lahirnya solusi yang berpihak pada kepentingan publik. Sikap proaktif dan ketegasan DPRD dalam mengawal aspirasi warga akan menjadi penentu apakah lembaga ini benar-benar menjalankan fungsi representasinya.

Menuju Keadilan Pajak
Krisis ini, meskipun pelik, bukanlah tanpa jalan keluar. Diperlukan itikad baik dan langkah-langkah konkret dari semua pihak untuk menemukan titik temu yang adil. Beberapa kemungkinan solusi yang bisa ditempuh antara lain:
- Revisi Kebijakan dengan Skema Bertahap: Solusi paling mendesak adalah meninjau ulang Peraturan Daerah (Perda) terkait PBB. Pemkot Cirebon, dengan persetujuan DPRD, dapat menerapkan kenaikan NJOP secara bertahap (misalnya, 25% setiap tahun selama empat tahun) alih-alih memberlakukannya secara sekaligus. Skema ini akan memberikan ruang bagi warga untuk beradaptasi secara finansial dan mengurangi efek kejut yang merusak.
- Dialog Terbuka dan Mediasi: Pemerintah harus segera membuka ruang dialog yang tulus dengan perwakilan warga, tokoh masyarakat, dan akademisi. Forum ini bukan hanya untuk sosialisasi satu arah, tetapi untuk mendengar secara aktif keluhan dan masukan dari masyarakat. Transparansi mengenai alasan kenaikan PAD dan alokasi penggunaannya dapat membantu membangun kembali kepercayaan publik yang terkikis.
- Pemberian Stimulus dan Insentif: Untuk meringankan beban, Pemkot dapat merancang skema stimulus yang lebih luas. Ini bisa berupa diskon signifikan bagi wajib pajak yang membayar tepat waktu, pembebasan PBB bagi kategori warga tidak mampu, atau keringanan khusus bagi properti yang tidak menghasilkan pendapatan komersial seperti rumah tinggal utama atau bangunan cagar budaya.
- Optimalisasi Advokasi Warga: Terinspirasi dari “Efek Pati,” warga dapat terus mengorganisir diri secara legal dan damai. Pembentukan tim advokasi yang didukung oleh ahli hukum untuk mengkaji kemungkinan class action atau gugatan ke PTUN dapat menjadi alat tawar yang kuat dalam menekan pemerintah agar lebih serius menanggapi tuntutan mereka.
Kesimpulan
Lonjakan PBB di Cirebon adalah cerminan dari sebuah kebijakan publik yang gagal mengintegrasikan aspek teknis dengan kepekaan sosial. Meskipun penyesuaian pajak adalah sebuah keniscayaan dalam administrasi pembangunan daerah, cara dan waktu implementasinya memegang peranan kunci. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa komunikasi yang buruk dan partisipasi publik yang minim dapat mengubah kebijakan yang bertujuan baik menjadi sumber konflik sosial. Kini, bola ada di tangan Pemerintah Kota Cirebon dan DPRD untuk membuktikan komitmen mereka pada kesejahteraan warga. Jalan keluar yang adil dan bijaksana harus segera ditemukan, sebelum tagihan pajak yang “mencekik” benar-benar merenggut napas kepercayaan publik terhadap pemerintahnya sendiri.

